Tugas Metodologi Penelitian
PROPOSAL
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI
PROGRAM GLB DAN GLBB DALAM PEMBELAJARAN
FISIKA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA
SISWA KELAS X SMA NEGERI “X” PALANGKA RAYA
TAHUN AJARAN 2014/2015
Oleh :
HARAIDHA
NIM. ACB 111 0067
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Keberadaan sumber daya manusia yang
berkualitas dalam era globalisasi merupakan suatu keniscayaan, karena dengan
adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, suatu bangsa akan mampu
mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya. Salah satu ciri sumber daya
menusia yang berkualitas adalah disamping memiliki iman dan taqwa (IMTAQ) yang
kuat juga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) secara mempuni.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dipergunakan demi mengolah dan
mengelola sumber daya alam yang dimiliki bangsa tersebut. bangsa yang kuat
adalah bangsa yang paling kuat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Sebagai contoh Negara Singapura yang memiliki wilayah jauh lebih kecil dari
Negara Indonesia, tetapi lebih makmur disbanding Negara Indonesia. Hal ini
dikarenakan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Negara Singapura lebih
maju dari pada di Negara Indonesia.
Salah satu cara untuk mencetak dan
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan cara
meningkatkan kualitas pendidikan suatu bangsa. Lewat pendidikan yang
berkualitas akan mampu manghasilkan manusia-manusia cerdas, kreatif, mandiri
dan percaya diri serat siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam rangka
menghadapi globalisasi. Lewat pendidikan ini pula, bangsa ini bisa membebaskan
masyarakatnya dari keterpurukan dan kemiskinan. Pendidikan yang berkualitas
juga akan menjadi solusi yang tepat bagi pemecahan masalah-masalah yang sedang
dihadapi bangsa ini.
Pendidikan di Indonesia belum bisa
dikatakan berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
2001 yang menunjukan betapa rendahnya kualitas pendidikan Indonesia
dibandingkan Negara lain di Asia, bahkan berada di bawah Vietnam. Sehingga
tidaklah heran jika penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia
masih rendah.
Rendahnya kualitas pendidikan di Negara
Indonesia diakibatkan oleh beberapa permasalahan, diantaranya adalah masalah
lemahnya proses pembelajaran. Peserta didika kurang didorong untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran
di dalam kelas di arahkan kepada
kemampuan anak untuk menghafal informasi tanpa dituntuk untuk memahami
informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan
sehari-hari. Akibatnya ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar
secara teoritis, akan tetapi mereka miskin aplikasi dan tentu saja dalam
pemecahan berbagai masalah yang ada dilapangan akan menjadi sulit.
Disamping itu juga, pembelajaran sains
khususnya fisika sering menjadi momok bagi peserta didik untuk mempelajarinya.
Bayangan rumitnya materi dan perhitungan yang diajarkan, membuat mata pelajaran
ini kurang diminati oleh peserta didik. Hanya sebagian kecil saja dari peserta
didik yang menyukainya, sebagian besarnya kurang termotivasi untuk
mempelajarinya.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang system pendidikan nasional yang menyatkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara. Inilah salah satu tujuan pendidikan yang
diharapakan.
Untuk bisa mewujudkan tujuan pendidikan
seperti yang tercantum dalam Undang-Undang sikdinas di atas, diperlukan suatu
proses pembelajaran yang aktif interaktif dan konstruktif. Proses ini akan
terjadi manakala pembelajaran sebagai konsteks internal dan eksternal
diselenggarakan sebagai proses fasilitasi dan simulasi, artinya pembelajaran
merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, dimana pendidik
berperan sebagai fasilitator dan motivator agar peserta didik dapat melakukan
proses belajar. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa pembelajaran
ditandai oleh terjadinya hubungan subtantif antara aspek-aspek konsep,
informasi baru dengan komponen-komponen yang relevan dalam pemecahan permasalahan
bagi struktur kognitif siswa. Artinya bahwa dalam pembelajaran siswa dapat
menciptakan makna-makna melalui pengintegrasian atau pengaitan dengan
pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitifnya serta menemukan dan
mengkomunikasikannya dengan persoalan atau permasalahan dalam kehidupannya.
Titik sentral setiap peristiwa
pembelajaran terletak pada suksesnya siswa mengorganisasikan permasalahan,
pengalaman, mengembangkan kemampuan berpikir, bukan pada kebenaran siswa dalam
replikasi atas apa yang dikerjakan guru. Mata pelajaran fisika adalah salah
satu mata pelajaran rumpun sains yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir
anlitis induktif deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
peristiwa alam sekitar, baik secara kulaitaif dengan menggunakan matematika,
serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri.
Seperti halnya permasalahan di atas,
permasalahan yang dihadapi SMA Negeri “X” Palangka Raya tidak jauh berbeda.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa siswa belum terlibat
secara aktif dalam proses pembelajran sains fisika, membuat mereka enggan
mempelajarinya. Pelajaran sain fisika masih dianggap sebagai pelajaran yang
menakutkan. Disamping itu, proses pembelajaran sains fisika di kelas belum
Optimal.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut kiranya perlu diadakan suatu model pembelajaran
yang berbeda. Karena itulah Model Problem Based Learning sebagai solusi dari
pemecahan masalah tersebut. Permasalahan tersebut diangkat kedalam suatu
penelitian dengan judul “MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KONSEP MATERI PROGRAM GLB DAN GLBB DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN
MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI “X” PALANGKA RAYA .
1.2. Identifikasi
Masalah
Dari latar belakang di atas dapatlah
diidentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Proses
pembelajaran di kelas masih terpusat pada guru disbanding siswa.
2.
Sikap
siswa terhadap pembelajaran fisika cenderung negative, fisika dianggap sebagai
mata pelajaran yang sulit dan kurang menarik.
3.
Proses
pembelajaran fisika di kelas belum optimal.
1.3. Rumusan
Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang
masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana
proses pelaksaan pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan
materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015
?
2.
Apakah
penerapan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB
pada siswa kelas X SMA Negeri “X”
Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015 dapat mengoptimalkan pembelajaran fisika ?
3.
Seberapa
besar keoptimalan pembelajaran fisika dengan penerapan model Problem Based
Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri
“X” Palangka Raya Tahun ajaran
2014/2015 yang diperoleh ?
1.4. Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah:
1.
Mendiskripsikan
pelaksanaan proses pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning
dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
2.
Mengoptimalkan
pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan materi
pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
3.
Mendiskripsikan
pengoptimalan pembelajran fisika dengan model model Problem Based Learning
dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
1.5. Manfaat
Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan beberapa manfaat, antara lain:
1.
Bagi
siswa, yaitu:
a.
Merubah
sikap negative menjadi positif terhadap pembelajaran fisika.
b.
Membantu
memahami konsep-konsep fisika serta meningkatkan aktivitas siswa dalam proses
pembelajaran dikelas.
2.
Bagi
guru, memberikan sumbangan model pembelajaran fisika yang berbasis pembelajaran
aktif.
3.
Bagi
peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai wawasan dan pengalaman dalam
menerapkan model pembejaran dikelas dan juga sebagai modal peneliti dalam
melakukan pengajaran selajutnya.
4.
Bagi
peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi
untuk dikembangkan lagi secara mendalam.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1. Definisi Istilah atau Operasional
Untuk menghindari terjadi kerancuan
penafsiran dan pemaknaan dalam
penelitian ini maka perlu didefinisikan dulu secara operasional beberapa
pegertian yang dalam penelitian ini
sebagai berikut:
2.1.1. Meningkatkan
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Meningkatkan merupakan
suatu usaha untuk menaikan, mempertinggi, memperhebat suatu yang ada.
2.1.2. Pemahaman
Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pemahaman Konsep berarti
mengerti dengan tepat suatu ide abtrak yang memungkinkan seseorang untuk
menggolongkan suatu objek atau kejadian.
2.1.3. Materi
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Materi merupakan suatu yang
menjadi bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, ataupun dikarangkan.
2.1.4. Program
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Program dalam suatu
pendidikan merupakan system persekolahan ataupun pengajaran untuk mata
pelajaran yang diperuntukan bagi siswa yang ingin melajutkan studi.
2.1.5. GLB dan
GLBB
Gerak Lurus Beraturan (GLB)
dan Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB) merupakan salah satu materi pokok
dalam pembelajaran fisika.
2.1.6. Pembelajaran
Fisika
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pembelajaran Fisika merupakan suatu proses, cara, perbuatan
menjadikan orang untuk balajar fisika.
2.1.7. Model Problem Based Learning
Model
Problem Based Learning (PBL) merupakan salah-satu model pembelajaran yang
digunakan dalam dunia pendidikan.
2.2. Tinjauan Fisika Dalam
Pendidikan
Fisika berasal dari bahasa Yunani yang berarti “alam”. Fisika adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari sifat dan gejala pada benda-benda di alam.
Gejala-gejala ini pada mulanya adalah apa yang dialami oleh indra kita,
misalnya penglihatan menemukan optika atau cahaya, pendengaran menemukan
pelajaran tentang bunyi, dan indra peraba yang dapat merasakan panas.
Fisika menjadi ilmu pengetahuan yang mendasar, karena berhubungan dengan
perilaku dan struktur benda, khususnya benda mati. Menurut sejarah, fisika
adalah bidang ilmu yang tertua, karena dimulai dengan pengamatanpengamatan dari
gerakan benda-benda langit, bagaimana lintasannya, periodenya, usianya, dan
lain-lain. Bidang ilmu ini telah dimulai berabad-abad yang lalu, dan berkembang
pada zaman Galileo dan Newton. Galileo merumuskan hukum-hukum mengenai benda
yang jatuh, sedangkan Newton mempelajari gerak pada umumnya, termasuk gerak
planet-planet pada sistem tata surya.
Fisika adalah salah satu ilmu pengetahuan alam dasar yang banyak digunakan
sebagai dasar bagi ilmu-ilmu yang lain. Fisika adalah ilmu yang mempelajari
gejala alam secara keseluruhan. Fisika mempelajari materi, energi, dan fenomena
atau kejadian alam, baik yang bersifat makroskopis (berukuran besar, seperti
gerak Bumi mengelilingi Matahari) maupun yang bersifat mikroskopis (berukuran
kecil, seperti gerak elektron mengelilingi inti) yang berkaitan dengan
perubahan zat atau energi.
Fisika menjadi dasar berbagai pengembangan ilmu dan teknologi. Kaitan
antara fisika dan disiplin ilmu lain membentuk disiplin ilmu yang baru,
misalnya dengan ilmu astronomi membentuk ilmu astrofisika, dengan biologi
membentuk biofisika, dengan ilmu kesehatan membentuk fisika medis, dengan ilmu
bahan membentuk fisika material, dengan geologi membentuk geofisika, dan
lain-lain. Pada bab ini akan dipelajari tentang dasar-dasar ilmu fisika.
Pada zaman modern seperti sekarang ini, ilmu fisika sangat mendukung
perkembangan teknologi, industri, komunikasi, termasuk kerekayasaan
(engineering), kimia, biologi, kedokteran, dan lain-lain. Ilmu fisika dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai fenomenafenomena yang menarik. Mengapa
bumi dapat mengelilingi matahari? Bagaimana udara dapat menahan pesawat terbang
yang berat? Mengapa langit tampak berwarna biru? Bagaimana siaran/tayangan TV
dapat menjangkau tempattempat yang jauh? Mengapa sifat-sifat listrik sangat
diperlukan dalam sistem komunikasi dan industri? Bagaimana peluru kendali dapat
diarahkan ke sasaran yang letaknya sangat jauh, bahkan antarbenua? Dan
akhirnya, bagaimana pesawat dapat mendarat di bulan? Ini semua dipelajari dalam
berbagai bidang ilmu fisika.
Bidang fisika secara garis besar terbagi atas dua kelompok, yaitu fisika
klasik dan fisika modern. Fisika klasik bersumber pada gejala-gejala yang
ditangkap oleh indra. Fisika klasik meliputi mekanika, listrik magnet, panas,
bunyi, optika, dan gelombang yang menjadi perbatasan antara fisika klasik dan
fisika modern. Fisika modern berkembang mulai abad ke-20, sejak penemuan teori
relativitas Einstein dan radioaktivitas oleh keluarga Curie.
2.3. Model
Pembelajaran Problem Based Learning
Menurut Sudarman (2005:
69) mendefinisikan Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah
sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis
dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.. Lebih lanjut,
Sudarman menjelaskan bahwa landasan teori PBL adalah kolaboratisme, suatu
perspektif yang berpendapat bahwa mahasiswa atau siswa akan menyusun
pengetahuan dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah
dimilikinya dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi
dengan sesama individu.
Model pembelajaran problem
based learning awalnya dirancang untuk program graduate bidang kesehatan oleh
Barrows, Howard (1986) yang diadaptasi dalam bidang pendidikan oleh Gallagher
(1995). Problem based learning disetting dalam bentuk pembelajaran yang diawali
dengan sebuah masalah menggunakan instruktur sebagai pelatihan metakognitif dan
diakhiri dengan penyajian dan analisis kerja siswa.
Model pembelajaran problem
based learning berlandaskan pada psikologi kognitif, sehingga fokus pengajaran
tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa, melainkan kepada apa
yang sedang mereka pikirkan pada saat melakukan kegiatan itu. Pada problem
based learning, guru lebih berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga
siswa belajar berfikir dan memecahkan masalah mereka sendiri. Belajar berbasis
masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim,
2000).
Pedagogi John Dewey
menganjurkan untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas yang
berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah tersebut.
Pembelajaran yang berdayaguna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh
keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi situasi yang bermakna
merupakan hubungan problem based learning dengan psikologi Dewey. Selain Dewey,
ahli psikologi Eropa Jean Piaget tokoh pengembang konsep konstruktivisme telah
memberi dukungannya. Pandangan konstruktivisme kognitif yang didasari atas
teori Piaget menyatakan bahwa siswa dalam segala usianya secara aktif terlibat
dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuannya sendiri (Ibrahim,
2000).
Adaptasi struktur problem
based learning dalam kelas-kelas sains dilakukan dengan menjamin penerapan
beberapa komponen penting dari sains. Empat penerapan esensial dari problem
based learning adalah seperti diurutkan dalam (Galagher et.al :1995) yaitu
sebagai berikut :
1) Orientasi
siswa pada masalah
Pada saat memulai
pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan
sikap positif terhadap pelajaran. Guru menyampaikan bahwa perlu adanya
elaborasi tentang hal-hal sebagai berikut :
·
Tujuan utama dari pembelajaran
adalah tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, namun lebih kepada
menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadikan siswa yang
mandiri.
·
Permasalahan yang diselidiki
tidak memiliki jawaban mutlak ”benar”. Sebuah penyelesaian yang kompleks
memiliki banyak penyelesaian yang terkadang bertentangan.
·
Selama tahap penyelidikan dalam
pembelajaran, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi dengan
bimbingan guru.
·
Pada tahap analisis dan
penyelesaian masalah siswa didorong untuk menyampaikan idenya secara terbuka.
Guru perlu menyajikan masalah dengan hati-hati dengan prosedur yang
jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi. Hal penting di sini adalah
orientasi kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan
selanjutnya. Oleh karena itu pada tahap ini presentasi harus menarik minat
siswa dan menimbulkan rasa ingin tahu.
2)
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Problem based learning membutuhkan keterampilan kolaborasi diantara siswa menurut mereka
untuk menyelidiki masalah secara bersama. Oleh karena itu mereka juga
membutuhkan bantuan untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas belajarnya.
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
kooperatif juga berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok problem based learning. Intinya di
sini adalah guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.
3) Membantu
penyelidikan siswa
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data
atau melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi dari
masalah tersebut. Tujuannya agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk
membangun ide mereka sendiri. Siswa akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana
menjadi penyelidik yang aktif dan bagaimana menggunakan metode yang sesuai
untuk masalah yang sedang dipelajari.
Setelah siswa mengumpulkan cukup data mereka akan mulai menawarkan
penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan dan pemecahan. Selama tahap ini
guru mendorong semua ide dan menerima sepenuhnya ide tersebut.
4)
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan
hasil karya yang akan disajikan. Masing-masing kelompok menyajikan hasil
pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu diskusi. Penyajian hasil karya ini
dapat berupa laporan, poster maupun media-media yang lain.
5)
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tahap akhir ini meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu
siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan
disamping itu juga mengevaluasi keterampilan penyelidikan dan keterampilan
intelektual yang telah mereka gunakan.
Selanjutnya beberapa ciri penting problem based learning sebagai berikut (Brook & Martin,
1993).
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan
pebelajar dalam pola pemecahan masalah. Kondisi ini akan dapat mengembangkan
keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi
permasalahan. Dalam konteks belajar kognitif sejumlah tujuan yang terkait
adalah belajar langsung dan mandiri, pengetahuan dan pemecahan masalah.
Sehingga untuk mencapai keberhasilan, para pebelajar harus mengembangkan
keahlian belajar dan mampu mengembangkan strategi dalam mengidentifikasi dan
menemukan permasalahan belajar, evaluasi dan juga belajar dari berbagai sumber
yang relevan.
Keberlanjutan
masalah
Dalam hal ini ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama,
harus dapat memunculkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang relevan dengan content
domain yang dibahas. Kedua, permasalahan hendaknya riil sehingga
memungkinkan terjadinya kesamaan pandang antarsiswa. Ada tiga alasan kenapa
permasalahan harus nyata (realistik),yaitu (1) Siswa terkadang terbuka untuk
meneliti semua dimensi dari permasalahan sehingga dapat mengalami kesulitan
dalam menciptakan suatu permasalahan yang luas dengan informasi yang sesuai.
(2) Permasalahan nyata cenderung untuk lebih melibatkan siswa terhadap suatu
konteks tentang kesamaan dengan permasalahan. (3) Siswa segera ingin tahu hasil
akhir dari penyelesaian masalahnya.
Adanya
presentasi permasalahan
Siswa dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan sehingga mereka
merasa memiliki permasalahan tersebut. Ada dua hal pokok dalam mempresentasikan
permasalahan. Pertama, jika siswa dilibatkan dalam pemecahan masalah
yang autentik, maka mereka harus memiliki permasalahan tersebut. Kedua,
adalah bahwa data yang ditampilkan dalam presentasi permasalahan tidak
menyoroti faktor-faktor utama dalam masalah tersebut, namun dapat ditampilkan
sebagai dasar pertanyaan sehingga tidak menampilkan informasi kunci
Peran guru
sebagai tutor dan fasilitator
Dalam hal ini
peran guru sebagai fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir siswa
dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu siswa untuk menjadi
mandiri. Kemampuan dari tutor sebagai fasilitator keterampilan mengajar
kelompok kecil dam proses pembelajaran merupakan penentu utama dari kualitas
dan keberhasilan. Setiap metode pendidikan bertujuan: (1) Mengembangkan
kreativitas pada siswa dan keahlian berpendapat. (2) Membantu mereka untuk
menjadi mandiri. Sedangkan tutorial adalah suatu penggunaan keahlian yang
menitikberatkan masalah dasar belajar langsung mandiri (Barrows dalam Savery
& Duffy, 1994).
Barrows (1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem Based
Learning in Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik Problem
Based Learning sebagai berikut:
1)
Proses pembelajaran bersifat Student
Centered. Melalui bimbingan tutor (guru), siswa harus bertanggung jawab
atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk
memperoleh pemahahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan dan menentukan
dimana mereka akan memperoleh informasi (buku teks, jurnal, internet, dsb).
2)
Proses pembelajaran
pembelajaran berlangsung pada kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri
dari 5-8 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum.
Kondisi demikian akan memberikan kondisi praktis kepada siswa untuk bekerja dan
belajar secara lebih intensif dan efektif dalam variasi kelompok.
3)
Guru berperan sebagai
fasilitator atau pembimbing. Dalam hal ini guru tidak berperan sebagai
penceramah atau pemberi faktual, namun berperan sebagai fasilitator. Guru tidak
memberitahu siswa tentang apa yang mereka harus pelajari atau baca. Siswa itu
sendirilah (secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan
konsep-konsep atau prinsip-prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka
pahami agar mampu memecahkan masalah yang telah disajikan guru pada awal
setting pembelajaran.
4)
Permasalahan-permasalahan yang
disajikan dalam setting pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus
tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran. Misalnya, masalah pasien atau
kesehatan masyarakat disajikan dalam berbagai bentuk seperti kasus tertulis,
simulasi pasien, simulasi komputer atau video. Kondisi demikian akan menantang
dan menghadapkan siswa dalam kondisi praktis serta akan memotivasi siswa untuk
belajar. Untuk memecahkan masalah tersebut, siswa akan merealisasikan apa yang
perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar serta akan mengarahkan mereka untuk
mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu.
5)
Informasi baru diperoleh
melalui belajar secara mandiri (self directed learning). Siswa
diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya
melalui belajar mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi yang
sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama dalam
kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, mereview serta berdebat tentang apa
yang sudah mereka pelajari.
6)
Masalah merupakan wahana untuk
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik. Format permasalahan
hendaknya mempresentasikan permasalahan pasien sesuai dengan dunia realita.
Format permasalahan juga harus memberi kepada siswa untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, melakukan tes fisik, tes laboratorium dan
tuntutan lainnya.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang program
pengajaran yang berorientasi pada problem based learning sehingga proses
pembelajaran benar-benar berpusat pada siswa (student centered) adalah
sebagai berikut (Gallagher & Stepien, 1995):
1. Fokuskan permasalahan (problem)
sekitar pembelajaran konsep-konsep esensial yang strategis. Gunakan
permasalahan dan konsep untuk membantu siswa melakukan investigasi substansi
isi (content).
2. Berikan kesempatan kepada
siswa untuk mengevaluasi gagasannya melalui eksperimen atau studi lapangan.
Siswa akan menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya.
3. Berikan kesempatan kepada
siswa untuk mengelola data yang mereka miliki yang merupakan proses
metakognisi.
4. Berikan kesempatan kepada
siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi yang mereka kemukakan. Penyajian dapat
dilakukan dalam bentuk seminar atau publikasi atau dalam bentuk penyajian
poster.
Prosedur dan tahapan pelaksanaan proses pembelajaran problem
based learning adalah sebagai berikut (dimodifikasi dari Barrows and Myers,
1993).
PENDAHULUAN
1. Penyampaian tujuan pembelajaran
2. Apersepsi
SETTING
PERMASALAHAN
1. Penyampaian masalah
2. Internalisasi masalah oleh siswa
3. Menggambarkan hasil/performan yang
diperlukan
4. Pemberian tugas-tugas meliputi (pengajuan
hipotesis, pengumpulan fakta, mensintesa informasi yang tersedia melalui
kegiatan inkuiri, membuat catatan yang diperlukan, merancang
kegiatan/penyelidikan yang berkaitan upaya pemecahan masalah)
5. Pemberian alasan terhadap permasalahan
6. Identifikasi sumber-sumber pembelajaran
7. Penjadwalan tindak lanjut
PRESENTASI
1. Penyajian pemecahan masalah
2. Diskusi
AKHIR
KEGIATAN
1.
Memiliki pengetahuan
2.
Penilaian diri melalui hasil diskusi
Sebagai model pembelajaran problem based learning
disamping memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan. (Wina Sanjaya 2006: 218)
menyatakan keunggulan problem based learning adalah:
1. Pemecahan masalah
merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
2. Pemecahan masalah
dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan
pengetahuan baru bagi siswa.
3. Pemecahan masalah
dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
4. Pemecahan masalah
dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk memahami masalah
dalam kehidupan nyata.
5. Pemecahan masalah
dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung
jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping juga dapat mendorong
untuk melakukan siendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
6. Melalui pemecahan
masalah bisa diperlihatkan bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan
cara berpikir dan sesuatu yang dimengerti oleh siswa bukan hanya sekedar
belajar dari guru atau dari buku saja.
7. Pemecahan masalah
dipandang lebih mengasikkan dan disukai siswa.
8. Pemecahan masalah
dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan pengetahuan baru.
9. Pemecahan masalah
dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang
telah mereka miliki dalam dunia nyata.
10. Pemecahan masalah
dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun
belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Sedangkan
kelemahannya adalah:
1. Manakala siswa
tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan sehingga masalah yang
dipelajari sulit dipecahkan maka siswa akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan
pembelajaran ini membutuhkan cukup banyak waktu.
3. Tanpa pemahaman
mengapa mereka berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa
tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Belajar berbasis
masalah berakar dari pandangan John Dewey, yang menyatakan bahwa sekolah
mestinya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan
laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Pandangan ini
mengharuskan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas
berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah
intelektual dan sosial. Pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki
manfaat nyata daripada abstrak. Pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik
dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan
proyek yang menarik yang merupakan pilihan mereka sendiri. Visi pembelajaran
yang berdayaguna atau terpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan siswa
untuk menyelidiki secara pribadi masalah tersebut. Hal ini secara jelas
menghubungkan BBM dengan filosofi pendidikan dan pedagogi Dewey.
BBM juga
dikembangkan dari konsep konstruktivisme atas dasar pandangan Jean Piaget dan Lev
Vygotsky. Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan
secara terus menerus berusaha ingin memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin
tahu ini, menurut Piaget dapat memotivasi mereka untuk secara aktif membangun
tampilan dalam otak mereka mengenai lingkungan yang mereka hayati. Pada saat
mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan
memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih
abstrak. Sementara itu, pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami
lingkungan mereka dan memotivasinya untuk menyelidiki dan membangun teori-teori
yang menjelaskan lingkungan itu.
Pandangan ini
lebih lanjut mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat
dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri.
Pengetahuan tidak statis namun secara terus menerus tumbuh dan berubah pada
saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan
memodifikasi pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogi yang baik harus
melibatkan anak dengan situasi-situasi dimana anak itu secara mandiri melakukan
eksperimen, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi,
memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan
sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang mereka temukan pada suatu saat dengan
apa yang ia temukan pada saat yang lain dan membandingkan temuannya dengan
temuan anak lain (dalam Ibrahim dan Nur, 2000).
Di pihak lain, Lev
Vygostsky percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu
berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha
untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman. Dalam upaya
mendapatkan pemahaman, individu mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
lama yang telah dimilikinya untuk membangun pengertian baru. Vygotsky memberi
tempat yang lebih penting pada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya
bahwa mereka interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru
dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Pada dasarnya,
baik Piaget maupun Vigotsky, sama-sama mengembangkan konstruktivisme
psikologis. Namun demikian, Piaget lebih menekankan pada konstruktivisme
psikologis yang bersifat personal, sedangkan Vigotskty lebih menekankan pada
kontruktivisme psikologis yang bersifat sosial (Suparno, 1997: 43). Kedua
konsep konstruktivisme tersebut menjadi landasan pokok model Belajar
Berdasarkan Masalah.
BBM juga
berlandaskan pada social leraning theory Albert Bandura, yang fokus pada
pembelajaran dalam konteks sosial (social context). Teori ini menyatakan
bahwa seorang belajar dari orang lain, termasuk konsep dari belajar
observasional, imination dan modeling. Prinsip umum dari social
learning theory selengkapnya dinyatakan oleh Armrod (1999) sebagai berikut:
General principles
of social learning theory follows:
1. People
can learn by observing the behavior is of others and the autcomes of those
behaviors.
2. Learning can occur without a change in
behavior. Behaciorists say that learning has to be represented by a permanent
change in behavior, in contrast social learning theorists say that because
people can learn thourg observation alone, their learning may not necessarily
be shown in their performance. Learning may or may not result in a behavior
change.
3.
Cognition plays a role in learning. Over the last 30 years social learning
theory has become increasingly cognitive in its interpretation of human
learning. Awareness and expectation of future reinforcements or punishments can
have a major effect on the behaviors that people exhibit.
4.
Social learning theory can be considered a bridge or a transition between
behaviorist learning theories and cognitive learning theories.
Belajar Berbasis Masalah didukung pula oleh teorinya Jerome
Bruner yang dikenal dengan pembelajaran penemuan. Belajar penemuan ini
merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa
memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif
terlibat dalam proses pembelajaran dan pembelajaran yang sebenarnya terjadi
melalui penemuan pribadi. Tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya
pengetahuan siswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk
penemuan siswa. Pembelajaran penemuan diterapkan dengan menekankan penalaran
induktif dan proses-proses inkuiri yang merupakan ciri dari metode ilmiah.
Belajar berdasarkan masalah pada intinya adalah melakukan proses inkuiri
tersebut.
Kaitan intelektual antara pembelajaran penemuan dan belajar
berbasis masalah sangat jelas. Pada kedua model ini, guru menekankan
keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada
deduktif, dan siswa menentukan atau mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada
belajar berbasis masalah atau penemuan, guru mengajukan pertanyaan atau masalah
kepada siswa dan memperbolehkan siswa untuk menemukan ide dan teori mereka
sendiri.
Belajar Berbasis Masalah (BBM) memiliki nama lain yang pada
dasarnya bermakna sama, seperti Problem-Based Learning (PBL), Problem-Based
Instruction (PBI), Project-Based Teaching (Pembelajaran Proyek), Experienced
Based Education (Pendidikan Berdasarkan Pengalaman), Authentic Learning
(Belajar Autentik) dan Echored Instruction (Pembelajaran Berakar pada Kehidupan
Nyata).
Belajar Berbasis Masalah (BBM) adalah pembelajaran yang
dirancang berdasarkan masalah kehidupan yang bersifat tidak tentu (ill-structured),
terbuka dan mendua. Masalah yang tidak tentu adalah masalah yang kabur, tidak
jelas, atau belum terdefinisikan (Fogarty, dalam Arnyana, 2004). Sedangkan Boud
(1985: 1) menyatakan bahwa Belajar adalah masalah merupakan pembelajaran yang
dimulai dengan penyajian masalah, yang berupa pertanyaan atau teka-teki yang
dapat merangsang siswa untuk menyelesaikannya. Definisi yang hampir sama
dinyatakan oleh Ibrahim dan Nur (2000: 3), bahwa BBM terdiri dari menyajikan
kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan
kesempatan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Secara lebih
spesifik, Barrows (1996: 5) menyatakan bahwa BBM merupakan pembelajaran yang
memiliki karakteristik, yakni (1) belajar berpusat pada siswa, (2) belajar
terjadi dalam kelompok kecil, (3) guru berperan sebagai fasilitator atau
penuntun, (4) bentuk masalah difokuskan pada pengaturan dan merangsang untuk
belajar, (5) masalah merupakan sarana untuk membangun keterampilan pemecahan
masalah, (6) informasi baru diperoleh melalui self-directing learning.
Belajar Berbasis Masalah diterapkan untuk merangsang
berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di
dalamnya belajar bagaimana belajar (Ibrahim dan Nur, 2000). Peran guru dalam
pembelajaran ini adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan
memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi, guru melakukan scaffolding,
yaitu suatu kerangka dukungan yang memperkaya keterampilan dan pertumbuhan
intelektual siswa. BBM tidak terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas
yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka.
Belajar Berbasis Masalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Mengajukan pertanyaan atau masalah. BBM mengorganisasikan pertanyaan dan
masalah yang sangat penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Masalah
yang diajukan berupa situasi kehidupan nyata/autentik, menghindari jawaban
sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi tersebut.
(2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. (3) Penyelidikan autentik. BBM
mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian
masalah secara nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah,
mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan simpulan sebagai
solusi terhadap masalah yang diajukan. (4) Menghasilkan produk atau karya dan
memamerkannya. BBM menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau
mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. (5) Kerja sama. BBM
juga dicirikan oleh siswa bekerjasama antara yang satu dengan lainnya dalam
bentuk berpasangan atau berkelompok (antara 4-8 siswa) dalam memecahkan masalah
yang dihadapinya. Dalam pembelajarannya, siswa bekerjasama antara satu dengan
yang lain, untuk mengembangkan keterampilan berpikir (Ibrahim dan Nur, 2000:
5-6).
Belajar berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu
siswa mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan keterampilan
intelektual. Di samping itu, BBM memberikan kesempatan belajar berbagai peran
orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi
serta menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim dan Nur, 2000). BBM
dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini didukung oleh
Hastings yang mengemukakan bahwa belajar berdasarkan masalah dapat
mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis serta menghadapkan
siswa pada latihan untuk memecahkan masalah (dalam Arnyana, 2004).
(Ibrahim dan Nur 2000) memberikan rasional tentang bagaimana
BBM membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar
pentingnya peran orang dewasa. Mereka lebih lanjut mengungkapkan bagaimana
pembelajaran di sekolah seperti yang dipahami secara tradisional, berbeda dalam
empat hal penting dari aktivitas mental dan belajar yang terjadi di luar
sekolah. Keempat hal tersebut dipaparkan seperti berikut: (1) Pembelajaran di
sekolah berpusat pada kinerja siswa secara individual, sementara di luar sekolah
kerja mental melibatkan kerjasama dengan orang lain. (2) Pembelajaran di
sekolah terpusat pada proses berpikir tanpa bantuan, sementara aktivitas mental
di luar sekolah selalu melibatkan alat-alat kognitif seperti komputer,
kalkulator dan instrumen ilmiah lainnya. (3) Pembelajaran di sekolah
mengembangkan berpikir simbolik berkaitan dengan situasi hipotesis, sementara
aktivitas mental di luar sekolah mengharapkan masing-masing individu berhadapan
secara langsung dengan benda dan situasi yang kongkret. (4) Pembelajaran di
sekolah memusatkan pada keterampilan umum, sementara di luar sekolah memerlukan
kemampuan khusus.
Belajar berbasis masalah biasanya terdiri dari 5 tahap yang
dimulai dengan (1) orientasi siswa kepada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk
belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, (4)
mengembangkan dan menyajikan hasil karya dan (5) menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah (Nur, 2000: 13); Arends, 2004: 406). Jika jangkauan
masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahapan tersebut mungkin dapat
diselesaikan dalam 2 sampai 3 kali pertemuan. Namun untuk masalah yang kompleks
mungkin akan dibutuhkan setahun penuh untuk menyelesaikannya. Model belajar
berbasis masalah, pada umumnya diterapkan pada bidang-bidang sains, untuk
penerapannya pada bidang matematika, perlu adanya modfikasi.
Secara garis besar kelima langkah tersebut tetap, yang perlu
sedikit penyesuaian adalah pada kegiatan guru dan kegiatan siswa. Kelima
tahapan tersebut secara lengkap disajikan pada tabel berikut :
Tahap
|
Kegiatan
Guru
|
Kegiatan Siswa
|
Tahap
1
Orientasi
siswa kepada masalah
|
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
kebutuhan yang diperlukan dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah yang dipilihnya
|
Siswa menginventarisasi dan mempersiapkan kebutuhan
yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Siswa berada dalam kelompok yang
telah ditetapkan
|
Tahap
2
Mengorganisasi
siswa untuk belajar
|
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
|
Siswa membatasi permasalahannya yang akan dikaji
|
Tahap
3
Membimbing
penyelidikan individual maupun kelompok
|
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
|
Siswa melakukan inkuiri, investigasi, dan bertanya
untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang dihadapi
|
Tahap
4
Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya
|
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan laporan serta membantu siswa untuk berbagai tugas dalam
kelompoknya
|
Siswa menyusun laporan dalam kelompok dan
menyajikannya dihadapan kelas dan berdiskusi dalam kelas
|
Tahap 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan proses-proses yang mereka
gunakan.
|
Siswa
mengikuti tes dan menyerahkan tugas-tugas sebagai bahan evaluasi proses
belajar
|
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1. Jenis
Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan “apa adanya”
tentang suatu variabel, gejala atau keadaan (Suharsimi
Arikunto, 2005: 234). Penelitian ini berusaha
untuk menjawab permasalahan yang diajukan peneliti tentang pembelajaran
fisika menggunakan pendekatan konseptual interaktif dengan seting investigasi
kelompok pada materi fluida statis, yakni bagaimana peningkatan pemahaman konsep
siswa, peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa, dan bagaimana hubungan
antara peningkatan pemahaman konsep terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa
setelah dilaksanakan proses pembelajaran ini.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1.
Tempat
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri ”X” Palangka Raya pada
kelas X
Semester 1 Tahun
Ajaran 2014/2015.
3.2.2.
Waktu
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai Oktober 2014.
3.3. Populasi
dan Sampel
3.3.1
Populasi
Penelitian
Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X Semester 1 SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun Ajaran 2014/2015, yang terdiri dari 4
(empat) kelas dengan jumlah 154 orang siswa, di mana sebaran populasi
tiap-tiap kelas.
3.3.2
Sampel
Penelitian
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti
(Suharsimi Arikunto, 2005: 91). Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak satu kelas dari keseluruhan kelas X SMA
Negeri “X” Palangka Raya. Sampel penelitian dipilih
secara acak (random sampling) berdasarkan
dengan asumsi kelasnya adalah homogen, yaitu dengan melakukan undian terhadap
semua kelas populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas X4
dengan jumlah 39 siswa.
3.4. Prosedur
Penelitian
3.4.1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Penyusunan
draf proposal.
2.
Menentukan
tempat penelitian.
3.
Seminar
proposal penelitian.
4.
Permohonan
izin penelitian pada instansi terkait.
5.
Membuat
instrumen penelitian.
6.
Menentukan
kelompok sampel.
7.
Melaksanakan
uji coba instrumen Tes Hasil Belajar (THB).
8.
Menganalisis
data hasil uji coba instrumen (THB).
3.4.2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan penelitian ini
menggunakan rancangan panel (design) one
shot case study, yaitu sebuah eksperimen yang dilaksanakan tanpa adanya
kelompok pembanding dan juga tanpa tes awal (Suharsimi Arikunto, 2003: 279).
Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1.
Peneliti
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) pada materi
fluida statis. Pada tahap ini dilaksanakan pula pengamatan terhadap aktivitas guru
dan siswa.
2.
Peneliti
memberikan tes hasil belajar pada akhir seluruh pembelajaran dengan mengimplementasikan
model problem based learning (PBL)
pada materi fluida statis yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
siswa terhadap materi yang diberikan.
3.
Peneliti
memberikan tes kemampuan berpikir kritis pada setiap akhir pembelajaran dengan mengimplementasikan model
problem based learning (PBL) yang
bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa pada materi fluida
statis.
3.4.3. Tahap Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada saat penelitian ini
yaitu :
1.
Data
aktivitas guru dan siswa diperoleh melalui lembar pengamatan aktivitas guru dan
siswa yang diisi oleh pengamat ketika pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) sedang
berlangsung.
2.
Data
hasil belajar siswa diperoleh melalui pemberian tes hasil belajar pada akhir
seluruh pembelajaran dengan mengimplementasikan model Problem Based Learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.
Data
kemampuan berpikir kritis siswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir kritis
siswa yang diberikan pada akhir tiap pembelajaran dengan mengimplementasikan
model problem based learning (PBL)
pada materi fluida statis.
3.4.4. Tahap Analisis Data
Analisis data yang dilakukan setelah data terkumpul adalah sebagai
berikut:
1.
Menganalisis
data aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran dengan penerapan model problem based learning (PBL) pada materi
fluida statis.
2.
Menganalisis
ketuntasan hasil belajar kognitif siswa setelah pembelajaran dengan model problem based learning (PBL) pada materi
fluida statis.
3.
Menganalisis
kemampuan berpikir kritis siswa setelah diberikan pembelajaran dengan model problem based learning (PBL) pada materi
fluida statis.
3.4.5 Tahap Kesimpulan
Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan secara “deskriptif”
dari hasil analisis data agar terlihat gambaranhasil penelitian dan untuk
mendeskripsikan penerapan model pembelajaran problem based learning (PBL) pada materi fluida statis pada siswa
kelas X Semester 1 SMA Negeri “X”
Palangka Raya tahun ajaran 2014/2015.
3.5. Intrumen
Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
1.
Instrumen 1: yaitu pemahaman
konsep yang terdiri atas dua: pretest
dan postest. Instrumen ini berupa tes
soal esai dengan bentuk label konsep (LK). Untuk mengukur pemahaman konsep
siswa sebelum mendapat perlakuan pendekatan pembelajaran konseptual interaktif
berseting investigasi kelompok dilakukan pretest,
sedangkan untuk mengukur pemahaman konsep siswa setelah mendapatkan perlakuan
diberikan postest. Tes pemahaman
konsep ini terdiri dari 4 soal untuk masing-masing LK, dengan rincian soal
pemahaman konsep aspek kemampuan menginterpretasikan sebanyak 1 soal, kemampuan
mencontohkan sebanyak 1 soal, kemampuan membandingkan sebanyak 1 soal, dan
kemampuan menjelaskan sebanyak 1 soal. Soal tes pemahaman konsep ini ditelaah
berdasarkan 19 kriteria penilaian.
2.
Instrumen 2: yaitu kemampuan
pemecahan masalah yang terdiri atas dua: pretest
dan postest. Instrumen ini berupa tes
soal uraian dengan bentuk label masalah (LM).
3.6 Uji Coba Instrumen
Pengujian instrumen THB berupa tes tertulis
dalam bentuk pilihan ganda. Uji coba instrumen direncanakan di kelas X SMA Negeri
“X” Palangka Raya yang telah menerima
materi GLB dan GLBB. Uji coba penelitian ini meliputi validitas, reliabilitas,
tingkat kesukaran, dan daya beda instrumen.
3.7 Teknik Analisis Ujicoba Instrumen
Ujicoba pada THB dilakukan untuk mengukur
validasi, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda.
3.7.1. Uji Validitas
Validitas
dapat diartikan dengan kebenaran, keshahihan atau keabsahan yang berkenaan dengan ketetapan alat
penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang
seharusnya dinilai. Sebuah
instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Untuk
mengetahui validitas instrumen digunakan
rumus korelasi point biserial sebagai berikut:
............................................................................. (3.1)
(Suharsimi Arikunto, 2007:
79)
Keterangan :
=
Koefisien korelasi point biserial
=
Rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi item yang dicari
validitasnya
=
Rerata skor total
St = Standar deviasi skor total
p =
Proporsi siswa yang menjawab benar
q =
Proporsi siswa yang menjawab salah ( q = 1 – p )
Kriteria validitas instrumen adalah sebagai
berikut (Suharsimi Arikunto, 2007 : 75):
Tabel
Kriteria
Validitas Instrumen
Koefisien Validitas
|
Kriteria
|
Antara 0,800 sampai dengan 1,00
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Antara 0,400 sampai dengan 0,600
Antara 0,200 sampai dengan 0,400
Antara
0,00 sampai dengan 0,200
|
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
|
Sumber : Suharsimi Arikunto,
2007 : 75
3.7.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas tes berhubungan dengan masalah kepercayaan, suatu tes
mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi
jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap (Suharsimi Arikunto, 2007:
86). Reliabilitas menunjukkan ketetapan atau keajegan alat penilaian dalam
menilai apa yang akan dinilai dan kapan
pun alat penilaian tersebut digunakan
akan memberikan hasil yang relatif sama. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila
hasil-hasil tes tersebut menunjukkan ketetapan. Untuk menguji reliabilitas
instrumen menggunakan rumus Kuder-Richardson 21 yaitu sebagai berikut :
.................................................................... (3.2)
(Suharsimi
Arikunto, 2007: 103)
Keterangan
:
= Reliabilitas tes secara keseluruhan
n = Banyaknya butir soal
M = Rata-rata skor seluruh butir soal
= Varians total
Untuk meninterpretasikan
harga r11 yang menyatakan nilai reliabelnya sebuah instrument
didasarkan menurut kriteria pada table berikut:
Tabel
Kriteria
Koefisien Reliabilitas
Koefisien Rehabilitas
|
Kriteria
|
Antara 0,800
sampai dengan 1,00
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Antara 0,400
sampai dengan 0,600
Antara 0,200
sampai dengan 0,400
Antara 0,00
sampai dengan 0,200
|
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
|
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 75
3.7.3. Uji Taraf Kesukaran
Indeks kesukaran (difficulty index)
adalah bilangan menunjukkan sukar dan mudahnya sesuatu soal (Suharsimi
Arikunto, 2007: 207). Besar indeks kesukaran antara 0,00 sampai dengan 1,00.
Soal dengan indeks kesukaran 0,00 menunjukkan bahwa soal itu terlalu sukar,
sebaliknya indeks 1,00 menunjukkan bahwa soalnya terlalu mudah.. Untuk
menghitung besarnya taraf kesukaran suatu tes digunakan rumus sebagai berikut :
P = ................................................................................................. (3.3)
(Suharsimi Arikunto, 2007: 208)
Keterangan :
P
= Taraf Kesukaran
B
= Banyaknya yang menjawab betul
J
= Jumlah siswa secara
keseluruhan
Klasifikasi indeks kesukaran:
Tabel
Kriteria Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran
|
Kriteria
|
Antara 0,00
sampai dengan 0.30
Antara 0,30
sampai dengan 0,70
Antara 0,70
sampai dengan 1,00
|
Soal Sukar
Soal Sedang
Soal Mudah
|
Sumber : Suharsimi Arikunto,
2007 : 210
Indeks
kesukaran yang semakin tinggi menunjukkan bahwa soal semakin mudah dan semakin
tinggi bilangan indeknya.
3.7.4 Uji Daya Pembeda Butir Soal
Daya pembeda soal adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan
antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah
(Suharsimi Arikunto, 2007: 211). Rumus untuk mengetahui daya pembeda setiap
butir tes adalah :
D = .................................................................................... (3.4)
(Suharsimi
Arikunto, 2007 : 213)
Keterangan :
D = daya pembeda butir
=
banyaknya kelompok atas yang menjawab betul
=
banyaknya subjek kelompok atas
= banyaknya subjek kelompok bawah yang
menjawab soal dengan betul
= banyaknya subjek kelompok bawah
Klasifikasi daya pembeda adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.6
Klasifikasi Daya Pembeda
Klasifikasi
|
Kriteria
|
0,00 – 0,20
0,20 – 0,40
0,40 – 0,70
0,70 – 1,00
Negatif
|
Jelek (Poor)
Cukup (Satisfactory)
Baik (Good)
Baik sekali (excellent)
semuanya tidak
baik, jadi semua butir soal mempunyai nilai negatif sebaiknya tidak
digunakan.
|
Sumber :
Suharsimi Arikunto, 2007 : 218
3.8 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif
kuantitatif dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian dalam rangka
perumusan kesimpulan.
3.8.1 Teknik Analisis Aktivitas Guru dan Siswa
Untuk menganalisis data
aktivitas guru dan aktivitas siswa yang diamati dalam kegiatan belajar-mengajar
digunakan analisis statistic deskriptif persentase (%) yaitu banyaknya
frekuensi tiap aktivitas dibagi seluruh frekuensi aktivitas kali 100%.
3.8.2 Teknik Analisis Data Tes Hasil
Belajar(THB)
Analisis data Tes Hasil Belajar (THB) digunakan untuk mengetahui
seberapa besar ketuntasan hasil belajar siswa dalam aspek kognitif setelah
dilakukan pembelajaran dengan menggunakan Model Problem Based Learning (PBL) materi GLB dan GLBB. THB ini
dianalisis dengan menggunakan ketuntasan individual, ketuntasan klasikal dan
ketuntasan TPK.
(1)
Ketuntasan
individu
Individu dikatakan tuntas bila persentase (P) indikator yang
dicapai sebesar ≥ 69%, yaitu ketuntasan yang ditetapkan sekolah SMA Negeri “X” Palangka Raya. Jumlah butir soal
sebanyak n, rumus presentase (P) adalah sebagai berikut:
....................................... (3.5)
(Widiyoko, 2002:55)
Keterangan: P = Persentase
n = Jumlah soal
(2)
Ketuntasan
Klasikal
Secara
klasikal dikatakan tuntas jika ≥ 85% individu yang tuntas dari jumlah siswa
yang berada di kelas tersebut. Rumus presentase (P) adalah sebagai berikut:
................................................. (3.6)
(Widiyoko,
2002:55)
Keterangan : P
= Persentase
N =
Jumlah siswa
(3)
Ketuntasan
TPK
Satu TPK tuntas apabila persentase (P) siswa yang mencapai TPK
tersebut > 65 %. Untuk jumlah siswa sebanyak N orang, rumus
persentasenya (P) adalah sebagai berikut :
P = x 100 % ..................... (3.7)
(Widiyoko,
2002:55)
Keterangan: P =
Persentase ketuntasan TPK
N = Jumlah siswa
3.8.3 Teknik Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa
Analisis kemampuan berpikir kritis siswa setelah diimplementasikan
pembelajaran menggunakan model Problem
Based Learning (PBL) materi fluida statis yaitu dengan memberi penilaian
pada setiap keterampilan berpikir kritis yang dilakukan siswa. Kategori yang
digunakan untuk menilai kemampuan berpikir kritis dari siswa ditentukan dengan
menggunakan skala penilaian pada tiap kemampuan berpikir kritis siswa.
(Adaptasi Kurnia Dewi, 2010)
Kemampuan berpikir kritis
siswa akan dibagi menjadi empat kriteria, yaitu sangat baik, baik, kurang baik
dan buruk (adaptasi Kurnia Dewi, 2010) yang didapat dari:
Kriteria berpikir kritis yang
didapat seperti pada table berikut:
Tabel
2.3
Kriteria Berpikir Kritis
No.
|
Skor
|
Ktiteria Berpikir Kritis
|
1
|
63 –
81
|
Sangat
Baik
|
2
|
43 –
62
|
Baik
|
3
|
24 –
42
|
Kurang
Baik
|
4
|
5 – 23
|
Buruk
|
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi,
Abu dan Supriyono, Widodo. 2004. Psikologi
Belajar. Jakarta : Rineka Cipta
Amir,
M. Taufiq. 2009. Inovasi Pendidikan
Melalui Problem Based Learning. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Arends,
Richard. 2008. Learning To Teach (Balajar
Untuk Mengajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baharuddin
dan Wahyuni, Nur. 2009. Teori Belajar dan Pembelajaran.Sleman : Ar-Ruszz
Media.
Fauzi, Ahmad . 1999. Psikologi Umum. Bandung : CV. Pustaka Setia
Fisher, Alec. 2009. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta : Erlangga
Handayani,Sri dan Damari, Ari. 2009. Fisika Untuk SMA dan MA Kelas IX. Jakarta
: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).
Haryadi, Bambang. 2009. Fisika Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional (BSE).
Johnson, Elaine B. 2009. Contextual Teaching And Learning. Bandung : Mizan Media Utama
Kanginan, Marthen. 2006. Seribu Pena Fisika Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.
Nurachmandani, Setya.
2009. Fisika 2 Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta
: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).
Satori, Djam’an & Komariah, Aan. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta
Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya.
SuharsimiArikunto.
2007.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Supiyanto. 2007. Fisika
Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Phibeta.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi
PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyatman, Sunarroso, Sarwono. 2009. Fisika 2 Mudah dan Sederhana Untuk
SMA/MA Kelas XI. Jakarta
: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).
Syah, Muhibbin.2009. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Syafarudin
dan Nasution, Irawan. 2005. Managemen Pembelajaran. Ciputat : PT Ciputat
Press.
Trianto.
2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching and Learning) di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka
Publisher.
_______.
2009. Mendesain Model Pembelajaran
Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, Dan Implementasinya Pada Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
________. 2010. Mendesain
Model Pembelajaran inovatif dan progresif. Jakarta : Kencana.
________.
2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta:
Bumi Aksara.
Tipler,
Paul A. 1998. Fisika Jilid I untuk Sains
dan Teknik ( Terjemahan Lea Prasetio dan Rahmad W. Adi). Jakarta: Erlangga.
Widiyoko,
M. Taufik. 2002. Pengembangan Model
Pembelajaran Langsung Yang Menekankan Pada Keterampilan Proses Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Bidang Biologi Pokok Bahasan Sistem
Pengeluaran di SLTP. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: UNESA.
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI
PROGRAM GLB DAN GLBB DALAM PEMBELAJARAN
FISIKA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA
SISWA KELAS X SMA NEGERI “X” PALANGKA RAYA
TAHUN AJARAN 2014/2015
PROPOSAL
Oleh :
HARAIDHA
NIM. ACB 111 0067
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2014
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I..... PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1.
Latar
Belakang................................................................................ 1
1.2.
Identifikasi
Masalah....................................................................... 5
1.3.
Rumusan
Masalah........................................................................... 5
1.4.
Tujuan
Penelitian............................................................................ 6
1.5.
Manfaat
Penelitian.......................................................................... 6
BAB II... KAJIAN
PUSTAKA.............................................................................. 8
2.1.
Definisi Istilah atau Operasional..................................................... 8
2.2.
Tinjauan Fisika Dalam
Pendidikan................................................. 9
2.3.
Model
Pembelajaran Problem Based Learning............................... 12
BAB III.. METODE
PENELITIAN....................................................................... 32
3.1.
Jenis
Penelitian................................................................................ 32
3.2.
Tempat dan Waktu Penelitian......................................................... 32
3.3.
Populasi
dan Sampel....................................................................... 33
3.4.
Prosedur
Penelitian......................................................................... 33
3.5.
Intrumen
Penelitian......................................................................... 36
3.6.
Uji
Coba Intrumen.......................................................................... 37
3.7.
Teknik
Analisis Uji Coba Instrumen............................................... 37
3.8.
Teknik
Analisis Data....................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 45
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Keberadaan sumber daya manusia yang
berkualitas dalam era globalisasi merupakan suatu keniscayaan, karena dengan
adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, suatu bangsa akan mampu
mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya. Salah satu ciri sumber daya
menusia yang berkualitas adalah disamping memiliki iman dan taqwa (IMTAQ) yang
kuat juga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) secara mempuni.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dipergunakan demi mengolah dan
mengelola sumber daya alam yang dimiliki bangsa tersebut. bangsa yang kuat
adalah bangsa yang paling kuat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Sebagai contoh Negara Singapura yang memiliki wilayah jauh lebih kecil dari
Negara Indonesia, tetapi lebih makmur disbanding Negara Indonesia. Hal ini
dikarenakan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Negara Singapura lebih
maju dari pada di Negara Indonesia.
Salah satu cara untuk mencetak dan
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan cara
meningkatkan kualitas pendidikan suatu bangsa. Lewat pendidikan yang
berkualitas akan mampu manghasilkan manusia-manusia cerdas, kreatif, mandiri
dan percaya diri serat siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam rangka
menghadapi globalisasi. Lewat pendidikan ini pula, bangsa ini bisa membebaskan
masyarakatnya dari keterpurukan dan kemiskinan. Pendidikan yang berkualitas
juga akan menjadi solusi yang tepat bagi pemecahan masalah-masalah yang sedang
dihadapi bangsa ini.
Pendidikan di Indonesia belum bisa
dikatakan berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
2001 yang menunjukan betapa rendahnya kualitas pendidikan Indonesia
dibandingkan Negara lain di Asia, bahkan berada di bawah Vietnam. Sehingga
tidaklah heran jika penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia
masih rendah.
Rendahnya kualitas pendidikan di Negara
Indonesia diakibatkan oleh beberapa permasalahan, diantaranya adalah masalah
lemahnya proses pembelajaran. Peserta didika kurang didorong untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran
di dalam kelas di arahkan kepada
kemampuan anak untuk menghafal informasi tanpa dituntuk untuk memahami
informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan
sehari-hari. Akibatnya ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar
secara teoritis, akan tetapi mereka miskin aplikasi dan tentu saja dalam
pemecahan berbagai masalah yang ada dilapangan akan menjadi sulit.
Disamping itu juga, pembelajaran sains
khususnya fisika sering menjadi momok bagi peserta didik untuk mempelajarinya.
Bayangan rumitnya materi dan perhitungan yang diajarkan, membuat mata pelajaran
ini kurang diminati oleh peserta didik. Hanya sebagian kecil saja dari peserta
didik yang menyukainya, sebagian besarnya kurang termotivasi untuk
mempelajarinya.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang system pendidikan nasional yang menyatkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara. Inilah salah satu tujuan pendidikan yang
diharapakan.
Untuk bisa mewujudkan tujuan pendidikan
seperti yang tercantum dalam Undang-Undang sikdinas di atas, diperlukan suatu
proses pembelajaran yang aktif interaktif dan konstruktif. Proses ini akan
terjadi manakala pembelajaran sebagai konsteks internal dan eksternal
diselenggarakan sebagai proses fasilitasi dan simulasi, artinya pembelajaran
merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, dimana pendidik
berperan sebagai fasilitator dan motivator agar peserta didik dapat melakukan
proses belajar. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa pembelajaran
ditandai oleh terjadinya hubungan subtantif antara aspek-aspek konsep,
informasi baru dengan komponen-komponen yang relevan dalam pemecahan permasalahan
bagi struktur kognitif siswa. Artinya bahwa dalam pembelajaran siswa dapat
menciptakan makna-makna melalui pengintegrasian atau pengaitan dengan
pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitifnya serta menemukan dan
mengkomunikasikannya dengan persoalan atau permasalahan dalam kehidupannya.
Titik sentral setiap peristiwa
pembelajaran terletak pada suksesnya siswa mengorganisasikan permasalahan,
pengalaman, mengembangkan kemampuan berpikir, bukan pada kebenaran siswa dalam
replikasi atas apa yang dikerjakan guru. Mata pelajaran fisika adalah salah
satu mata pelajaran rumpun sains yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir
anlitis induktif deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
peristiwa alam sekitar, baik secara kulaitaif dengan menggunakan matematika,
serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri.
Seperti halnya permasalahan di atas,
permasalahan yang dihadapi SMA Negeri “X” Palangka Raya tidak jauh berbeda.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa siswa belum terlibat
secara aktif dalam proses pembelajran sains fisika, membuat mereka enggan
mempelajarinya. Pelajaran sain fisika masih dianggap sebagai pelajaran yang
menakutkan. Disamping itu, proses pembelajaran sains fisika di kelas belum
Optimal.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut kiranya perlu diadakan suatu model pembelajaran
yang berbeda. Karena itulah Model Problem Based Learning sebagai solusi dari
pemecahan masalah tersebut. Permasalahan tersebut diangkat kedalam suatu
penelitian dengan judul “MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KONSEP MATERI PROGRAM GLB DAN GLBB DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN
MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI “X” PALANGKA RAYA .
1.2. Identifikasi
Masalah
Dari latar belakang di atas dapatlah
diidentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Proses
pembelajaran di kelas masih terpusat pada guru disbanding siswa.
2.
Sikap
siswa terhadap pembelajaran fisika cenderung negative, fisika dianggap sebagai
mata pelajaran yang sulit dan kurang menarik.
3.
Proses
pembelajaran fisika di kelas belum optimal.
1.3. Rumusan
Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang
masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana
proses pelaksaan pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan
materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015
?
2.
Apakah
penerapan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB
pada siswa kelas X SMA Negeri “X”
Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015 dapat mengoptimalkan pembelajaran fisika ?
3.
Seberapa
besar keoptimalan pembelajaran fisika dengan penerapan model Problem Based
Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri
“X” Palangka Raya Tahun ajaran
2014/2015 yang diperoleh ?
1.4. Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah:
1.
Mendiskripsikan
pelaksanaan proses pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning
dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
2.
Mengoptimalkan
pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan materi
pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
3.
Mendiskripsikan
pengoptimalan pembelajran fisika dengan model model Problem Based Learning
dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
1.5. Manfaat
Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan beberapa manfaat, antara lain:
1.
Bagi
siswa, yaitu:
a.
Merubah
sikap negative menjadi positif terhadap pembelajaran fisika.
b.
Membantu
memahami konsep-konsep fisika serta meningkatkan aktivitas siswa dalam proses
pembelajaran dikelas.
2.
Bagi
guru, memberikan sumbangan model pembelajaran fisika yang berbasis pembelajaran
aktif.
3.
Bagi
peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai wawasan dan pengalaman dalam
menerapkan model pembejaran dikelas dan juga sebagai modal peneliti dalam
melakukan pengajaran selajutnya.
4.
Bagi
peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi
untuk dikembangkan lagi secara mendalam.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1. Definisi Istilah atau Operasional
Untuk menghindari terjadi kerancuan
penafsiran dan pemaknaan dalam
penelitian ini maka perlu didefinisikan dulu secara operasional beberapa
pegertian yang dalam penelitian ini
sebagai berikut:
2.1.1. Meningkatkan
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Meningkatkan merupakan
suatu usaha untuk menaikan, mempertinggi, memperhebat suatu yang ada.
2.1.2. Pemahaman
Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pemahaman Konsep berarti
mengerti dengan tepat suatu ide abtrak yang memungkinkan seseorang untuk
menggolongkan suatu objek atau kejadian.
2.1.3. Materi
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Materi merupakan suatu yang
menjadi bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, ataupun dikarangkan.
2.1.4. Program
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Program dalam suatu
pendidikan merupakan system persekolahan ataupun pengajaran untuk mata
pelajaran yang diperuntukan bagi siswa yang ingin melajutkan studi.
2.1.5. GLB dan
GLBB
Gerak Lurus Beraturan (GLB)
dan Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB) merupakan salah satu materi pokok
dalam pembelajaran fisika.
2.1.6. Pembelajaran
Fisika
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pembelajaran Fisika merupakan suatu proses, cara, perbuatan
menjadikan orang untuk balajar fisika.
2.1.7. Model Problem Based Learning
Model
Problem Based Learning (PBL) merupakan salah-satu model pembelajaran yang
digunakan dalam dunia pendidikan.
2.2. Tinjauan Fisika Dalam
Pendidikan
Fisika berasal dari bahasa Yunani yang berarti “alam”. Fisika adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari sifat dan gejala pada benda-benda di alam.
Gejala-gejala ini pada mulanya adalah apa yang dialami oleh indra kita,
misalnya penglihatan menemukan optika atau cahaya, pendengaran menemukan
pelajaran tentang bunyi, dan indra peraba yang dapat merasakan panas.
Fisika menjadi ilmu pengetahuan yang mendasar, karena berhubungan dengan
perilaku dan struktur benda, khususnya benda mati. Menurut sejarah, fisika
adalah bidang ilmu yang tertua, karena dimulai dengan pengamatanpengamatan dari
gerakan benda-benda langit, bagaimana lintasannya, periodenya, usianya, dan
lain-lain. Bidang ilmu ini telah dimulai berabad-abad yang lalu, dan berkembang
pada zaman Galileo dan Newton. Galileo merumuskan hukum-hukum mengenai benda
yang jatuh, sedangkan Newton mempelajari gerak pada umumnya, termasuk gerak
planet-planet pada sistem tata surya.
Fisika adalah salah satu ilmu pengetahuan alam dasar yang banyak digunakan
sebagai dasar bagi ilmu-ilmu yang lain. Fisika adalah ilmu yang mempelajari
gejala alam secara keseluruhan. Fisika mempelajari materi, energi, dan fenomena
atau kejadian alam, baik yang bersifat makroskopis (berukuran besar, seperti
gerak Bumi mengelilingi Matahari) maupun yang bersifat mikroskopis (berukuran
kecil, seperti gerak elektron mengelilingi inti) yang berkaitan dengan
perubahan zat atau energi.
Fisika menjadi dasar berbagai pengembangan ilmu dan teknologi. Kaitan
antara fisika dan disiplin ilmu lain membentuk disiplin ilmu yang baru,
misalnya dengan ilmu astronomi membentuk ilmu astrofisika, dengan biologi
membentuk biofisika, dengan ilmu kesehatan membentuk fisika medis, dengan ilmu
bahan membentuk fisika material, dengan geologi membentuk geofisika, dan
lain-lain. Pada bab ini akan dipelajari tentang dasar-dasar ilmu fisika.
Pada zaman modern seperti sekarang ini, ilmu fisika sangat mendukung
perkembangan teknologi, industri, komunikasi, termasuk kerekayasaan
(engineering), kimia, biologi, kedokteran, dan lain-lain. Ilmu fisika dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai fenomenafenomena yang menarik. Mengapa
bumi dapat mengelilingi matahari? Bagaimana udara dapat menahan pesawat terbang
yang berat? Mengapa langit tampak berwarna biru? Bagaimana siaran/tayangan TV
dapat menjangkau tempattempat yang jauh? Mengapa sifat-sifat listrik sangat
diperlukan dalam sistem komunikasi dan industri? Bagaimana peluru kendali dapat
diarahkan ke sasaran yang letaknya sangat jauh, bahkan antarbenua? Dan
akhirnya, bagaimana pesawat dapat mendarat di bulan? Ini semua dipelajari dalam
berbagai bidang ilmu fisika.
Bidang fisika secara garis besar terbagi atas dua kelompok, yaitu fisika
klasik dan fisika modern. Fisika klasik bersumber pada gejala-gejala yang
ditangkap oleh indra. Fisika klasik meliputi mekanika, listrik magnet, panas,
bunyi, optika, dan gelombang yang menjadi perbatasan antara fisika klasik dan
fisika modern. Fisika modern berkembang mulai abad ke-20, sejak penemuan teori
relativitas Einstein dan radioaktivitas oleh keluarga Curie.
2.3. Model
Pembelajaran Problem Based Learning
Menurut Sudarman (2005:
69) mendefinisikan Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah
sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis
dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.. Lebih lanjut,
Sudarman menjelaskan bahwa landasan teori PBL adalah kolaboratisme, suatu
perspektif yang berpendapat bahwa mahasiswa atau siswa akan menyusun
pengetahuan dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah
dimilikinya dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi
dengan sesama individu.
Model pembelajaran problem
based learning awalnya dirancang untuk program graduate bidang kesehatan oleh
Barrows, Howard (1986) yang diadaptasi dalam bidang pendidikan oleh Gallagher
(1995). Problem based learning disetting dalam bentuk pembelajaran yang diawali
dengan sebuah masalah menggunakan instruktur sebagai pelatihan metakognitif dan
diakhiri dengan penyajian dan analisis kerja siswa.
Model pembelajaran problem
based learning berlandaskan pada psikologi kognitif, sehingga fokus pengajaran
tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa, melainkan kepada apa
yang sedang mereka pikirkan pada saat melakukan kegiatan itu. Pada problem
based learning, guru lebih berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga
siswa belajar berfikir dan memecahkan masalah mereka sendiri. Belajar berbasis
masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim,
2000).
Pedagogi John Dewey
menganjurkan untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas yang
berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah tersebut.
Pembelajaran yang berdayaguna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh
keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi situasi yang bermakna
merupakan hubungan problem based learning dengan psikologi Dewey. Selain Dewey,
ahli psikologi Eropa Jean Piaget tokoh pengembang konsep konstruktivisme telah
memberi dukungannya. Pandangan konstruktivisme kognitif yang didasari atas
teori Piaget menyatakan bahwa siswa dalam segala usianya secara aktif terlibat
dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuannya sendiri (Ibrahim,
2000).
Adaptasi struktur problem
based learning dalam kelas-kelas sains dilakukan dengan menjamin penerapan
beberapa komponen penting dari sains. Empat penerapan esensial dari problem
based learning adalah seperti diurutkan dalam (Galagher et.al :1995) yaitu
sebagai berikut :
1) Orientasi
siswa pada masalah
Pada saat memulai
pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan
sikap positif terhadap pelajaran. Guru menyampaikan bahwa perlu adanya
elaborasi tentang hal-hal sebagai berikut :
·
Tujuan utama dari pembelajaran
adalah tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, namun lebih kepada
menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadikan siswa yang
mandiri.
·
Permasalahan yang diselidiki
tidak memiliki jawaban mutlak ”benar”. Sebuah penyelesaian yang kompleks
memiliki banyak penyelesaian yang terkadang bertentangan.
·
Selama tahap penyelidikan dalam
pembelajaran, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi dengan
bimbingan guru.
·
Pada tahap analisis dan
penyelesaian masalah siswa didorong untuk menyampaikan idenya secara terbuka.
Guru perlu menyajikan masalah dengan hati-hati dengan prosedur yang
jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi. Hal penting di sini adalah
orientasi kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan
selanjutnya. Oleh karena itu pada tahap ini presentasi harus menarik minat
siswa dan menimbulkan rasa ingin tahu.
2)
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Problem based learning membutuhkan keterampilan kolaborasi diantara siswa menurut mereka
untuk menyelidiki masalah secara bersama. Oleh karena itu mereka juga
membutuhkan bantuan untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas belajarnya.
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
kooperatif juga berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok problem based learning. Intinya di
sini adalah guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.
3) Membantu
penyelidikan siswa
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data
atau melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi dari
masalah tersebut. Tujuannya agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk
membangun ide mereka sendiri. Siswa akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana
menjadi penyelidik yang aktif dan bagaimana menggunakan metode yang sesuai
untuk masalah yang sedang dipelajari.
Setelah siswa mengumpulkan cukup data mereka akan mulai menawarkan
penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan dan pemecahan. Selama tahap ini
guru mendorong semua ide dan menerima sepenuhnya ide tersebut.
4)
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan
hasil karya yang akan disajikan. Masing-masing kelompok menyajikan hasil
pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu diskusi. Penyajian hasil karya ini
dapat berupa laporan, poster maupun media-media yang lain.
5)
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tahap akhir ini meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu
siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan
disamping itu juga mengevaluasi keterampilan penyelidikan dan keterampilan
intelektual yang telah mereka gunakan.
Selanjutnya beberapa ciri penting problem based learning sebagai berikut (Brook & Martin,
1993).
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan
pebelajar dalam pola pemecahan masalah. Kondisi ini akan dapat mengembangkan
keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi
permasalahan. Dalam konteks belajar kognitif sejumlah tujuan yang terkait
adalah belajar langsung dan mandiri, pengetahuan dan pemecahan masalah.
Sehingga untuk mencapai keberhasilan, para pebelajar harus mengembangkan
keahlian belajar dan mampu mengembangkan strategi dalam mengidentifikasi dan
menemukan permasalahan belajar, evaluasi dan juga belajar dari berbagai sumber
yang relevan.
Keberlanjutan
masalah
Dalam hal ini ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama,
harus dapat memunculkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang relevan dengan content
domain yang dibahas. Kedua, permasalahan hendaknya riil sehingga
memungkinkan terjadinya kesamaan pandang antarsiswa. Ada tiga alasan kenapa
permasalahan harus nyata (realistik),yaitu (1) Siswa terkadang terbuka untuk
meneliti semua dimensi dari permasalahan sehingga dapat mengalami kesulitan
dalam menciptakan suatu permasalahan yang luas dengan informasi yang sesuai.
(2) Permasalahan nyata cenderung untuk lebih melibatkan siswa terhadap suatu
konteks tentang kesamaan dengan permasalahan. (3) Siswa segera ingin tahu hasil
akhir dari penyelesaian masalahnya.
Adanya
presentasi permasalahan
Siswa dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan sehingga mereka
merasa memiliki permasalahan tersebut. Ada dua hal pokok dalam mempresentasikan
permasalahan. Pertama, jika siswa dilibatkan dalam pemecahan masalah
yang autentik, maka mereka harus memiliki permasalahan tersebut. Kedua,
adalah bahwa data yang ditampilkan dalam presentasi permasalahan tidak
menyoroti faktor-faktor utama dalam masalah tersebut, namun dapat ditampilkan
sebagai dasar pertanyaan sehingga tidak menampilkan informasi kunci
Peran guru
sebagai tutor dan fasilitator
Dalam hal ini
peran guru sebagai fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir siswa
dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu siswa untuk menjadi
mandiri. Kemampuan dari tutor sebagai fasilitator keterampilan mengajar
kelompok kecil dam proses pembelajaran merupakan penentu utama dari kualitas
dan keberhasilan. Setiap metode pendidikan bertujuan: (1) Mengembangkan
kreativitas pada siswa dan keahlian berpendapat. (2) Membantu mereka untuk
menjadi mandiri. Sedangkan tutorial adalah suatu penggunaan keahlian yang
menitikberatkan masalah dasar belajar langsung mandiri (Barrows dalam Savery
& Duffy, 1994).
Barrows (1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem Based
Learning in Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik Problem
Based Learning sebagai berikut:
1)
Proses pembelajaran bersifat Student
Centered. Melalui bimbingan tutor (guru), siswa harus bertanggung jawab
atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk
memperoleh pemahahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan dan menentukan
dimana mereka akan memperoleh informasi (buku teks, jurnal, internet, dsb).
2)
Proses pembelajaran
pembelajaran berlangsung pada kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri
dari 5-8 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum.
Kondisi demikian akan memberikan kondisi praktis kepada siswa untuk bekerja dan
belajar secara lebih intensif dan efektif dalam variasi kelompok.
3)
Guru berperan sebagai
fasilitator atau pembimbing. Dalam hal ini guru tidak berperan sebagai
penceramah atau pemberi faktual, namun berperan sebagai fasilitator. Guru tidak
memberitahu siswa tentang apa yang mereka harus pelajari atau baca. Siswa itu
sendirilah (secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan
konsep-konsep atau prinsip-prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka
pahami agar mampu memecahkan masalah yang telah disajikan guru pada awal
setting pembelajaran.
4)
Permasalahan-permasalahan yang
disajikan dalam setting pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus
tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran. Misalnya, masalah pasien atau
kesehatan masyarakat disajikan dalam berbagai bentuk seperti kasus tertulis,
simulasi pasien, simulasi komputer atau video. Kondisi demikian akan menantang
dan menghadapkan siswa dalam kondisi praktis serta akan memotivasi siswa untuk
belajar. Untuk memecahkan masalah tersebut, siswa akan merealisasikan apa yang
perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar serta akan mengarahkan mereka untuk
mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu.
5)
Informasi baru diperoleh
melalui belajar secara mandiri (self directed learning). Siswa
diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya
melalui belajar mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi yang
sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama dalam
kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, mereview serta berdebat tentang apa
yang sudah mereka pelajari.
6)
Masalah merupakan wahana untuk
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik. Format permasalahan
hendaknya mempresentasikan permasalahan pasien sesuai dengan dunia realita.
Format permasalahan juga harus memberi kepada siswa untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, melakukan tes fisik, tes laboratorium dan
tuntutan lainnya.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang program
pengajaran yang berorientasi pada problem based learning sehingga proses
pembelajaran benar-benar berpusat pada siswa (student centered) adalah
sebagai berikut (Gallagher & Stepien, 1995):
1. Fokuskan permasalahan (problem)
sekitar pembelajaran konsep-konsep esensial yang strategis. Gunakan
permasalahan dan konsep untuk membantu siswa melakukan investigasi substansi
isi (content).
2. Berikan kesempatan kepada
siswa untuk mengevaluasi gagasannya melalui eksperimen atau studi lapangan.
Siswa akan menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya.
3. Berikan kesempatan kepada
siswa untuk mengelola data yang mereka miliki yang merupakan proses
metakognisi.
4. Berikan kesempatan kepada
siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi yang mereka kemukakan. Penyajian dapat
dilakukan dalam bentuk seminar atau publikasi atau dalam bentuk penyajian
poster.
Prosedur dan tahapan pelaksanaan proses pembelajaran problem
based learning adalah sebagai berikut (dimodifikasi dari Barrows and Myers,
1993).
PENDAHULUAN
1. Penyampaian tujuan pembelajaran
2. Apersepsi
SETTING
PERMASALAHAN
1. Penyampaian masalah
2. Internalisasi masalah oleh siswa
3. Menggambarkan hasil/performan yang
diperlukan
4. Pemberian tugas-tugas meliputi (pengajuan
hipotesis, pengumpulan fakta, mensintesa informasi yang tersedia melalui
kegiatan inkuiri, membuat catatan yang diperlukan, merancang
kegiatan/penyelidikan yang berkaitan upaya pemecahan masalah)
5. Pemberian alasan terhadap permasalahan
6. Identifikasi sumber-sumber pembelajaran
7. Penjadwalan tindak lanjut
PRESENTASI
1. Penyajian pemecahan masalah
2. Diskusi
AKHIR
KEGIATAN
1.
Memiliki pengetahuan
2.
Penilaian diri melalui hasil diskusi
Sebagai model pembelajaran problem based learning
disamping memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan. (Wina Sanjaya 2006: 218)
menyatakan keunggulan problem based learning adalah:
1. Pemecahan masalah
merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
2. Pemecahan masalah
dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan
pengetahuan baru bagi siswa.
3. Pemecahan masalah
dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
4. Pemecahan masalah
dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk memahami masalah
dalam kehidupan nyata.
5. Pemecahan masalah
dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung
jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping juga dapat mendorong
untuk melakukan siendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
6. Melalui pemecahan
masalah bisa diperlihatkan bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan
cara berpikir dan sesuatu yang dimengerti oleh siswa bukan hanya sekedar
belajar dari guru atau dari buku saja.
7. Pemecahan masalah
dipandang lebih mengasikkan dan disukai siswa.
8. Pemecahan masalah
dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan pengetahuan baru.
9. Pemecahan masalah
dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang
telah mereka miliki dalam dunia nyata.
10. Pemecahan masalah
dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun
belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Sedangkan
kelemahannya adalah:
1. Manakala siswa
tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan sehingga masalah yang
dipelajari sulit dipecahkan maka siswa akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan
pembelajaran ini membutuhkan cukup banyak waktu.
3. Tanpa pemahaman
mengapa mereka berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa
tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Belajar berbasis
masalah berakar dari pandangan John Dewey, yang menyatakan bahwa sekolah
mestinya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan
laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Pandangan ini
mengharuskan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas
berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah
intelektual dan sosial. Pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki
manfaat nyata daripada abstrak. Pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik
dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan
proyek yang menarik yang merupakan pilihan mereka sendiri. Visi pembelajaran
yang berdayaguna atau terpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan siswa
untuk menyelidiki secara pribadi masalah tersebut. Hal ini secara jelas
menghubungkan BBM dengan filosofi pendidikan dan pedagogi Dewey.
BBM juga
dikembangkan dari konsep konstruktivisme atas dasar pandangan Jean Piaget dan Lev
Vygotsky. Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan
secara terus menerus berusaha ingin memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin
tahu ini, menurut Piaget dapat memotivasi mereka untuk secara aktif membangun
tampilan dalam otak mereka mengenai lingkungan yang mereka hayati. Pada saat
mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan
memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih
abstrak. Sementara itu, pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami
lingkungan mereka dan memotivasinya untuk menyelidiki dan membangun teori-teori
yang menjelaskan lingkungan itu.
Pandangan ini
lebih lanjut mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat
dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri.
Pengetahuan tidak statis namun secara terus menerus tumbuh dan berubah pada
saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan
memodifikasi pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogi yang baik harus
melibatkan anak dengan situasi-situasi dimana anak itu secara mandiri melakukan
eksperimen, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi,
memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan
sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang mereka temukan pada suatu saat dengan
apa yang ia temukan pada saat yang lain dan membandingkan temuannya dengan
temuan anak lain (dalam Ibrahim dan Nur, 2000).
Di pihak lain, Lev
Vygostsky percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu
berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha
untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman. Dalam upaya
mendapatkan pemahaman, individu mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
lama yang telah dimilikinya untuk membangun pengertian baru. Vygotsky memberi
tempat yang lebih penting pada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya
bahwa mereka interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru
dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Pada dasarnya,
baik Piaget maupun Vigotsky, sama-sama mengembangkan konstruktivisme
psikologis. Namun demikian, Piaget lebih menekankan pada konstruktivisme
psikologis yang bersifat personal, sedangkan Vigotskty lebih menekankan pada
kontruktivisme psikologis yang bersifat sosial (Suparno, 1997: 43). Kedua
konsep konstruktivisme tersebut menjadi landasan pokok model Belajar
Berdasarkan Masalah.
BBM juga
berlandaskan pada social leraning theory Albert Bandura, yang fokus pada
pembelajaran dalam konteks sosial (social context). Teori ini menyatakan
bahwa seorang belajar dari orang lain, termasuk konsep dari belajar
observasional, imination dan modeling. Prinsip umum dari social
learning theory selengkapnya dinyatakan oleh Armrod (1999) sebagai berikut:
General principles
of social learning theory follows:
1. People
can learn by observing the behavior is of others and the autcomes of those
behaviors.
2. Learning can occur without a change in
behavior. Behaciorists say that learning has to be represented by a permanent
change in behavior, in contrast social learning theorists say that because
people can learn thourg observation alone, their learning may not necessarily
be shown in their performance. Learning may or may not result in a behavior
change.
3.
Cognition plays a role in learning. Over the last 30 years social learning
theory has become increasingly cognitive in its interpretation of human
learning. Awareness and expectation of future reinforcements or punishments can
have a major effect on the behaviors that people exhibit.
4.
Social learning theory can be considered a bridge or a transition between
behaviorist learning theories and cognitive learning theories.
Belajar Berbasis Masalah didukung pula oleh teorinya Jerome
Bruner yang dikenal dengan pembelajaran penemuan. Belajar penemuan ini
merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa
memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif
terlibat dalam proses pembelajaran dan pembelajaran yang sebenarnya terjadi
melalui penemuan pribadi. Tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya
pengetahuan siswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk
penemuan siswa. Pembelajaran penemuan diterapkan dengan menekankan penalaran
induktif dan proses-proses inkuiri yang merupakan ciri dari metode ilmiah.
Belajar berdasarkan masalah pada intinya adalah melakukan proses inkuiri
tersebut.
Kaitan intelektual antara pembelajaran penemuan dan belajar
berbasis masalah sangat jelas. Pada kedua model ini, guru menekankan
keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada
deduktif, dan siswa menentukan atau mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada
belajar berbasis masalah atau penemuan, guru mengajukan pertanyaan atau masalah
kepada siswa dan memperbolehkan siswa untuk menemukan ide dan teori mereka
sendiri.
Belajar Berbasis Masalah (BBM) memiliki nama lain yang pada
dasarnya bermakna sama, seperti Problem-Based Learning (PBL), Problem-Based
Instruction (PBI), Project-Based Teaching (Pembelajaran Proyek), Experienced
Based Education (Pendidikan Berdasarkan Pengalaman), Authentic Learning
(Belajar Autentik) dan Echored Instruction (Pembelajaran Berakar pada Kehidupan
Nyata).
Belajar Berbasis Masalah (BBM) adalah pembelajaran yang
dirancang berdasarkan masalah kehidupan yang bersifat tidak tentu (ill-structured),
terbuka dan mendua. Masalah yang tidak tentu adalah masalah yang kabur, tidak
jelas, atau belum terdefinisikan (Fogarty, dalam Arnyana, 2004). Sedangkan Boud
(1985: 1) menyatakan bahwa Belajar adalah masalah merupakan pembelajaran yang
dimulai dengan penyajian masalah, yang berupa pertanyaan atau teka-teki yang
dapat merangsang siswa untuk menyelesaikannya. Definisi yang hampir sama
dinyatakan oleh Ibrahim dan Nur (2000: 3), bahwa BBM terdiri dari menyajikan
kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan
kesempatan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Secara lebih
spesifik, Barrows (1996: 5) menyatakan bahwa BBM merupakan pembelajaran yang
memiliki karakteristik, yakni (1) belajar berpusat pada siswa, (2) belajar
terjadi dalam kelompok kecil, (3) guru berperan sebagai fasilitator atau
penuntun, (4) bentuk masalah difokuskan pada pengaturan dan merangsang untuk
belajar, (5) masalah merupakan sarana untuk membangun keterampilan pemecahan
masalah, (6) informasi baru diperoleh melalui self-directing learning.
Belajar Berbasis Masalah diterapkan untuk merangsang
berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di
dalamnya belajar bagaimana belajar (Ibrahim dan Nur, 2000). Peran guru dalam
pembelajaran ini adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan
memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi, guru melakukan scaffolding,
yaitu suatu kerangka dukungan yang memperkaya keterampilan dan pertumbuhan
intelektual siswa. BBM tidak terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas
yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka.
Belajar Berbasis Masalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Mengajukan pertanyaan atau masalah. BBM mengorganisasikan pertanyaan dan
masalah yang sangat penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Masalah
yang diajukan berupa situasi kehidupan nyata/autentik, menghindari jawaban
sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi tersebut.
(2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. (3) Penyelidikan autentik. BBM
mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian
masalah secara nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah,
mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan simpulan sebagai
solusi terhadap masalah yang diajukan. (4) Menghasilkan produk atau karya dan
memamerkannya. BBM menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau
mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. (5) Kerja sama. BBM
juga dicirikan oleh siswa bekerjasama antara yang satu dengan lainnya dalam
bentuk berpasangan atau berkelompok (antara 4-8 siswa) dalam memecahkan masalah
yang dihadapinya. Dalam pembelajarannya, siswa bekerjasama antara satu dengan
yang lain, untuk mengembangkan keterampilan berpikir (Ibrahim dan Nur, 2000:
5-6).
Belajar berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu
siswa mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan keterampilan
intelektual. Di samping itu, BBM memberikan kesempatan belajar berbagai peran
orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi
serta menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim dan Nur, 2000). BBM
dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini didukung oleh
Hastings yang mengemukakan bahwa belajar berdasarkan masalah dapat
mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis serta menghadapkan
siswa pada latihan untuk memecahkan masalah (dalam Arnyana, 2004).
(Ibrahim dan Nur 2000) memberikan rasional tentang bagaimana
BBM membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar
pentingnya peran orang dewasa. Mereka lebih lanjut mengungkapkan bagaimana
pembelajaran di sekolah seperti yang dipahami secara tradisional, berbeda dalam
empat hal penting dari aktivitas mental dan belajar yang terjadi di luar
sekolah. Keempat hal tersebut dipaparkan seperti berikut: (1) Pembelajaran di
sekolah berpusat pada kinerja siswa secara individual, sementara di luar sekolah
kerja mental melibatkan kerjasama dengan orang lain. (2) Pembelajaran di
sekolah terpusat pada proses berpikir tanpa bantuan, sementara aktivitas mental
di luar sekolah selalu melibatkan alat-alat kognitif seperti komputer,
kalkulator dan instrumen ilmiah lainnya. (3) Pembelajaran di sekolah
mengembangkan berpikir simbolik berkaitan dengan situasi hipotesis, sementara
aktivitas mental di luar sekolah mengharapkan masing-masing individu berhadapan
secara langsung dengan benda dan situasi yang kongkret. (4) Pembelajaran di
sekolah memusatkan pada keterampilan umum, sementara di luar sekolah memerlukan
kemampuan khusus.
Belajar berbasis masalah biasanya terdiri dari 5 tahap yang
dimulai dengan (1) orientasi siswa kepada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk
belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, (4)
mengembangkan dan menyajikan hasil karya dan (5) menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah (Nur, 2000: 13); Arends, 2004: 406). Jika jangkauan
masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahapan tersebut mungkin dapat
diselesaikan dalam 2 sampai 3 kali pertemuan. Namun untuk masalah yang kompleks
mungkin akan dibutuhkan setahun penuh untuk menyelesaikannya. Model belajar
berbasis masalah, pada umumnya diterapkan pada bidang-bidang sains, untuk
penerapannya pada bidang matematika, perlu adanya modfikasi.
Secara garis besar kelima langkah tersebut tetap, yang perlu
sedikit penyesuaian adalah pada kegiatan guru dan kegiatan siswa. Kelima
tahapan tersebut secara lengkap disajikan pada tabel berikut :
Tahap
|
Kegiatan
Guru
|
Kegiatan Siswa
|
Tahap
1
Orientasi
siswa kepada masalah
|
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
kebutuhan yang diperlukan dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah yang dipilihnya
|
Siswa menginventarisasi dan mempersiapkan kebutuhan
yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Siswa berada dalam kelompok yang
telah ditetapkan
|
Tahap
2
Mengorganisasi
siswa untuk belajar
|
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
|
Siswa membatasi permasalahannya yang akan dikaji
|
Tahap
3
Membimbing
penyelidikan individual maupun kelompok
|
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
|
Siswa melakukan inkuiri, investigasi, dan bertanya
untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang dihadapi
|
Tahap
4
Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya
|
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan laporan serta membantu siswa untuk berbagai tugas dalam
kelompoknya
|
Siswa menyusun laporan dalam kelompok dan
menyajikannya dihadapan kelas dan berdiskusi dalam kelas
|
Tahap 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan proses-proses yang mereka
gunakan.
|
Siswa
mengikuti tes dan menyerahkan tugas-tugas sebagai bahan evaluasi proses
belajar
|
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1. Jenis
Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan “apa adanya”
tentang suatu variabel, gejala atau keadaan (Suharsimi
Arikunto, 2005: 234). Penelitian ini berusaha
untuk menjawab permasalahan yang diajukan peneliti tentang pembelajaran
fisika menggunakan pendekatan konseptual interaktif dengan seting investigasi
kelompok pada materi fluida statis, yakni bagaimana peningkatan pemahaman konsep
siswa, peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa, dan bagaimana hubungan
antara peningkatan pemahaman konsep terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa
setelah dilaksanakan proses pembelajaran ini.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1.
Tempat
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri ”X” Palangka Raya pada
kelas X
Semester 1 Tahun
Ajaran 2014/2015.
3.2.2.
Waktu
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai Oktober 2014.
3.3. Populasi
dan Sampel
3.3.1
Populasi
Penelitian
Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X Semester 1 SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun Ajaran 2014/2015, yang terdiri dari 4
(empat) kelas dengan jumlah 154 orang siswa, di mana sebaran populasi
tiap-tiap kelas.
3.3.2
Sampel
Penelitian
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti
(Suharsimi Arikunto, 2005: 91). Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak satu kelas dari keseluruhan kelas X SMA
Negeri “X” Palangka Raya. Sampel penelitian dipilih
secara acak (random sampling) berdasarkan
dengan asumsi kelasnya adalah homogen, yaitu dengan melakukan undian terhadap
semua kelas populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas X4
dengan jumlah 39 siswa.
3.4. Prosedur
Penelitian
3.4.1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Penyusunan
draf proposal.
2.
Menentukan
tempat penelitian.
3.
Seminar
proposal penelitian.
4.
Permohonan
izin penelitian pada instansi terkait.
5.
Membuat
instrumen penelitian.
6.
Menentukan
kelompok sampel.
7.
Melaksanakan
uji coba instrumen Tes Hasil Belajar (THB).
8.
Menganalisis
data hasil uji coba instrumen (THB).
3.4.2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan penelitian ini
menggunakan rancangan panel (design) one
shot case study, yaitu sebuah eksperimen yang dilaksanakan tanpa adanya
kelompok pembanding dan juga tanpa tes awal (Suharsimi Arikunto, 2003: 279).
Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1.
Peneliti
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) pada materi
fluida statis. Pada tahap ini dilaksanakan pula pengamatan terhadap aktivitas guru
dan siswa.
2.
Peneliti
memberikan tes hasil belajar pada akhir seluruh pembelajaran dengan mengimplementasikan
model problem based learning (PBL)
pada materi fluida statis yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
siswa terhadap materi yang diberikan.
3.
Peneliti
memberikan tes kemampuan berpikir kritis pada setiap akhir pembelajaran dengan mengimplementasikan model
problem based learning (PBL) yang
bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa pada materi fluida
statis.
3.4.3. Tahap Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada saat penelitian ini
yaitu :
1.
Data
aktivitas guru dan siswa diperoleh melalui lembar pengamatan aktivitas guru dan
siswa yang diisi oleh pengamat ketika pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) sedang
berlangsung.
2.
Data
hasil belajar siswa diperoleh melalui pemberian tes hasil belajar pada akhir
seluruh pembelajaran dengan mengimplementasikan model Problem Based Learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.
Data
kemampuan berpikir kritis siswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir kritis
siswa yang diberikan pada akhir tiap pembelajaran dengan mengimplementasikan
model problem based learning (PBL)
pada materi fluida statis.
3.4.4. Tahap Analisis Data
Analisis data yang dilakukan setelah data terkumpul adalah sebagai
berikut:
1.
Menganalisis
data aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran dengan penerapan model problem based learning (PBL) pada materi
fluida statis.
2.
Menganalisis
ketuntasan hasil belajar kognitif siswa setelah pembelajaran dengan model problem based learning (PBL) pada materi
fluida statis.
3.
Menganalisis
kemampuan berpikir kritis siswa setelah diberikan pembelajaran dengan model problem based learning (PBL) pada materi
fluida statis.
3.4.5 Tahap Kesimpulan
Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan secara “deskriptif”
dari hasil analisis data agar terlihat gambaranhasil penelitian dan untuk
mendeskripsikan penerapan model pembelajaran problem based learning (PBL) pada materi fluida statis pada siswa
kelas X Semester 1 SMA Negeri “X”
Palangka Raya tahun ajaran 2014/2015.
3.5. Intrumen
Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
1.
Instrumen 1: yaitu pemahaman
konsep yang terdiri atas dua: pretest
dan postest. Instrumen ini berupa tes
soal esai dengan bentuk label konsep (LK). Untuk mengukur pemahaman konsep
siswa sebelum mendapat perlakuan pendekatan pembelajaran konseptual interaktif
berseting investigasi kelompok dilakukan pretest,
sedangkan untuk mengukur pemahaman konsep siswa setelah mendapatkan perlakuan
diberikan postest. Tes pemahaman
konsep ini terdiri dari 4 soal untuk masing-masing LK, dengan rincian soal
pemahaman konsep aspek kemampuan menginterpretasikan sebanyak 1 soal, kemampuan
mencontohkan sebanyak 1 soal, kemampuan membandingkan sebanyak 1 soal, dan
kemampuan menjelaskan sebanyak 1 soal. Soal tes pemahaman konsep ini ditelaah
berdasarkan 19 kriteria penilaian.
2.
Instrumen 2: yaitu kemampuan
pemecahan masalah yang terdiri atas dua: pretest
dan postest. Instrumen ini berupa tes
soal uraian dengan bentuk label masalah (LM).
3.6 Uji Coba Instrumen
Pengujian instrumen THB berupa tes tertulis
dalam bentuk pilihan ganda. Uji coba instrumen direncanakan di kelas X SMA Negeri
“X” Palangka Raya yang telah menerima
materi GLB dan GLBB. Uji coba penelitian ini meliputi validitas, reliabilitas,
tingkat kesukaran, dan daya beda instrumen.
3.7 Teknik Analisis Ujicoba Instrumen
Ujicoba pada THB dilakukan untuk mengukur
validasi, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda.
3.7.1. Uji Validitas
Validitas
dapat diartikan dengan kebenaran, keshahihan atau keabsahan yang berkenaan dengan ketetapan alat
penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang
seharusnya dinilai. Sebuah
instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Untuk
mengetahui validitas instrumen digunakan
rumus korelasi point biserial sebagai berikut:
............................................................................. (3.1)
(Suharsimi Arikunto, 2007:
79)
Keterangan :
=
Koefisien korelasi point biserial
=
Rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi item yang dicari
validitasnya
=
Rerata skor total
St = Standar deviasi skor total
p =
Proporsi siswa yang menjawab benar
q =
Proporsi siswa yang menjawab salah ( q = 1 – p )
Kriteria validitas instrumen adalah sebagai
berikut (Suharsimi Arikunto, 2007 : 75):
Tabel
Kriteria
Validitas Instrumen
Koefisien Validitas
|
Kriteria
|
Antara 0,800 sampai dengan 1,00
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Antara 0,400 sampai dengan 0,600
Antara 0,200 sampai dengan 0,400
Antara
0,00 sampai dengan 0,200
|
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
|
Sumber : Suharsimi Arikunto,
2007 : 75
3.7.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas tes berhubungan dengan masalah kepercayaan, suatu tes
mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi
jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap (Suharsimi Arikunto, 2007:
86). Reliabilitas menunjukkan ketetapan atau keajegan alat penilaian dalam
menilai apa yang akan dinilai dan kapan
pun alat penilaian tersebut digunakan
akan memberikan hasil yang relatif sama. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila
hasil-hasil tes tersebut menunjukkan ketetapan. Untuk menguji reliabilitas
instrumen menggunakan rumus Kuder-Richardson 21 yaitu sebagai berikut :
.................................................................... (3.2)
(Suharsimi
Arikunto, 2007: 103)
Keterangan
:
= Reliabilitas tes secara keseluruhan
n = Banyaknya butir soal
M = Rata-rata skor seluruh butir soal
= Varians total
Untuk meninterpretasikan
harga r11 yang menyatakan nilai reliabelnya sebuah instrument
didasarkan menurut kriteria pada table berikut:
Tabel
Kriteria
Koefisien Reliabilitas
Koefisien Rehabilitas
|
Kriteria
|
Antara 0,800
sampai dengan 1,00
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Antara 0,400
sampai dengan 0,600
Antara 0,200
sampai dengan 0,400
Antara 0,00
sampai dengan 0,200
|
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
|
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 75
3.7.3. Uji Taraf Kesukaran
Indeks kesukaran (difficulty index)
adalah bilangan menunjukkan sukar dan mudahnya sesuatu soal (Suharsimi
Arikunto, 2007: 207). Besar indeks kesukaran antara 0,00 sampai dengan 1,00.
Soal dengan indeks kesukaran 0,00 menunjukkan bahwa soal itu terlalu sukar,
sebaliknya indeks 1,00 menunjukkan bahwa soalnya terlalu mudah.. Untuk
menghitung besarnya taraf kesukaran suatu tes digunakan rumus sebagai berikut :
P = ................................................................................................. (3.3)
(Suharsimi Arikunto, 2007: 208)
Keterangan :
P
= Taraf Kesukaran
B
= Banyaknya yang menjawab betul
J
= Jumlah siswa secara
keseluruhan
Klasifikasi indeks kesukaran:
Tabel
Kriteria Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran
|
Kriteria
|
Antara 0,00
sampai dengan 0.30
Antara 0,30
sampai dengan 0,70
Antara 0,70
sampai dengan 1,00
|
Soal Sukar
Soal Sedang
Soal Mudah
|
Sumber : Suharsimi Arikunto,
2007 : 210
Indeks
kesukaran yang semakin tinggi menunjukkan bahwa soal semakin mudah dan semakin
tinggi bilangan indeknya.
3.7.4 Uji Daya Pembeda Butir Soal
Daya pembeda soal adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan
antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah
(Suharsimi Arikunto, 2007: 211). Rumus untuk mengetahui daya pembeda setiap
butir tes adalah :
D = .................................................................................... (3.4)
(Suharsimi
Arikunto, 2007 : 213)
Keterangan :
D = daya pembeda butir
=
banyaknya kelompok atas yang menjawab betul
=
banyaknya subjek kelompok atas
= banyaknya subjek kelompok bawah yang
menjawab soal dengan betul
= banyaknya subjek kelompok bawah
Klasifikasi daya pembeda adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.6
Klasifikasi Daya Pembeda
Klasifikasi
|
Kriteria
|
0,00 – 0,20
0,20 – 0,40
0,40 – 0,70
0,70 – 1,00
Negatif
|
Jelek (Poor)
Cukup (Satisfactory)
Baik (Good)
Baik sekali (excellent)
semuanya tidak
baik, jadi semua butir soal mempunyai nilai negatif sebaiknya tidak
digunakan.
|
Sumber :
Suharsimi Arikunto, 2007 : 218
3.8 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif
kuantitatif dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian dalam rangka
perumusan kesimpulan.
3.8.1 Teknik Analisis Aktivitas Guru dan Siswa
Untuk menganalisis data
aktivitas guru dan aktivitas siswa yang diamati dalam kegiatan belajar-mengajar
digunakan analisis statistic deskriptif persentase (%) yaitu banyaknya
frekuensi tiap aktivitas dibagi seluruh frekuensi aktivitas kali 100%.
3.8.2 Teknik Analisis Data Tes Hasil
Belajar(THB)
Analisis data Tes Hasil Belajar (THB) digunakan untuk mengetahui
seberapa besar ketuntasan hasil belajar siswa dalam aspek kognitif setelah
dilakukan pembelajaran dengan menggunakan Model Problem Based Learning (PBL) materi GLB dan GLBB. THB ini
dianalisis dengan menggunakan ketuntasan individual, ketuntasan klasikal dan
ketuntasan TPK.
(1)
Ketuntasan
individu
Individu dikatakan tuntas bila persentase (P) indikator yang
dicapai sebesar ≥ 69%, yaitu ketuntasan yang ditetapkan sekolah SMA Negeri “X” Palangka Raya. Jumlah butir soal
sebanyak n, rumus presentase (P) adalah sebagai berikut:
....................................... (3.5)
(Widiyoko, 2002:55)
Keterangan: P = Persentase
n = Jumlah soal
(2)
Ketuntasan
Klasikal
Secara
klasikal dikatakan tuntas jika ≥ 85% individu yang tuntas dari jumlah siswa
yang berada di kelas tersebut. Rumus presentase (P) adalah sebagai berikut:
................................................. (3.6)
(Widiyoko,
2002:55)
Keterangan : P
= Persentase
N =
Jumlah siswa
(3)
Ketuntasan
TPK
Satu TPK tuntas apabila persentase (P) siswa yang mencapai TPK
tersebut > 65 %. Untuk jumlah siswa sebanyak N orang, rumus
persentasenya (P) adalah sebagai berikut :
P = x 100 % ..................... (3.7)
(Widiyoko,
2002:55)
Keterangan: P =
Persentase ketuntasan TPK
N = Jumlah siswa
3.8.3 Teknik Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa
Analisis kemampuan berpikir kritis siswa setelah diimplementasikan
pembelajaran menggunakan model Problem
Based Learning (PBL) materi fluida statis yaitu dengan memberi penilaian
pada setiap keterampilan berpikir kritis yang dilakukan siswa. Kategori yang
digunakan untuk menilai kemampuan berpikir kritis dari siswa ditentukan dengan
menggunakan skala penilaian pada tiap kemampuan berpikir kritis siswa.
(Adaptasi Kurnia Dewi, 2010)
Kemampuan berpikir kritis
siswa akan dibagi menjadi empat kriteria, yaitu sangat baik, baik, kurang baik
dan buruk (adaptasi Kurnia Dewi, 2010) yang didapat dari:
Kriteria berpikir kritis yang
didapat seperti pada table berikut:
Tabel
2.3
Kriteria Berpikir Kritis
No.
|
Skor
|
Ktiteria Berpikir Kritis
|
1
|
63 –
81
|
Sangat
Baik
|
2
|
43 –
62
|
Baik
|
3
|
24 –
42
|
Kurang
Baik
|
4
|
5 – 23
|
Buruk
|
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi,
Abu dan Supriyono, Widodo. 2004. Psikologi
Belajar. Jakarta : Rineka Cipta
Amir,
M. Taufiq. 2009. Inovasi Pendidikan
Melalui Problem Based Learning. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Arends,
Richard. 2008. Learning To Teach (Balajar
Untuk Mengajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baharuddin
dan Wahyuni, Nur. 2009. Teori Belajar dan Pembelajaran.Sleman : Ar-Ruszz
Media.
Fauzi, Ahmad . 1999. Psikologi Umum. Bandung : CV. Pustaka Setia
Fisher, Alec. 2009. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta : Erlangga
Handayani,Sri dan Damari, Ari. 2009. Fisika Untuk SMA dan MA Kelas IX. Jakarta
: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).
Haryadi, Bambang. 2009. Fisika Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional (BSE).
Johnson, Elaine B. 2009. Contextual Teaching And Learning. Bandung : Mizan Media Utama
Kanginan, Marthen. 2006. Seribu Pena Fisika Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.
Nurachmandani, Setya.
2009. Fisika 2 Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta
: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).
Satori, Djam’an & Komariah, Aan. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta
Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya.
SuharsimiArikunto.
2007.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Supiyanto. 2007. Fisika
Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Phibeta.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi
PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyatman, Sunarroso, Sarwono. 2009. Fisika 2 Mudah dan Sederhana Untuk
SMA/MA Kelas XI. Jakarta
: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).
Syah, Muhibbin.2009. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Syafarudin
dan Nasution, Irawan. 2005. Managemen Pembelajaran. Ciputat : PT Ciputat
Press.
Trianto.
2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching and Learning) di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka
Publisher.
_______.
2009. Mendesain Model Pembelajaran
Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, Dan Implementasinya Pada Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
________. 2010. Mendesain
Model Pembelajaran inovatif dan progresif. Jakarta : Kencana.
________.
2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta:
Bumi Aksara.
Tipler,
Paul A. 1998. Fisika Jilid I untuk Sains
dan Teknik ( Terjemahan Lea Prasetio dan Rahmad W. Adi). Jakarta: Erlangga.
Widiyoko,
M. Taufik. 2002. Pengembangan Model
Pembelajaran Langsung Yang Menekankan Pada Keterampilan Proses Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Bidang Biologi Pokok Bahasan Sistem
Pengeluaran di SLTP. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: UNESA.
Komentar
Posting Komentar