Tugas Metodologi Penelitian


PROPOSAL
 
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI
PROGRAM GLB DAN GLBB DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA
SISWA KELAS X SMA NEGERI “X” PALANGKA RAYA
TAHUN AJARAN 2014/2015

 

Oleh :

HARAIDHA
NIM. ACB 111 0067





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2014





BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas dalam era globalisasi merupakan suatu keniscayaan, karena dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, suatu bangsa akan mampu mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya. Salah satu ciri sumber daya menusia yang berkualitas adalah disamping memiliki iman dan taqwa (IMTAQ) yang kuat juga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) secara mempuni. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dipergunakan demi mengolah dan mengelola sumber daya alam yang dimiliki bangsa tersebut. bangsa yang kuat adalah bangsa yang paling kuat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sebagai contoh Negara Singapura yang memiliki wilayah jauh lebih kecil dari Negara Indonesia, tetapi lebih makmur disbanding Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Negara Singapura lebih maju dari pada di Negara Indonesia.
Salah satu cara untuk mencetak dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan suatu bangsa. Lewat pendidikan yang berkualitas akan mampu manghasilkan manusia-manusia cerdas, kreatif, mandiri dan percaya diri serat siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam rangka menghadapi globalisasi. Lewat pendidikan ini pula, bangsa ini bisa membebaskan masyarakatnya dari keterpurukan dan kemiskinan. Pendidikan yang berkualitas juga akan menjadi solusi yang tepat bagi pemecahan masalah-masalah yang sedang dihadapi bangsa ini.
Pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2001 yang menunjukan betapa rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dibandingkan Negara lain di Asia, bahkan berada di bawah Vietnam. Sehingga tidaklah heran jika penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia masih rendah.
Rendahnya kualitas pendidikan di Negara Indonesia diakibatkan oleh beberapa permasalahan, diantaranya adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Peserta didika kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran di dalam kelas di arahkan  kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi tanpa dituntuk untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, akan tetapi mereka miskin aplikasi dan tentu saja dalam pemecahan berbagai masalah yang ada dilapangan akan menjadi sulit.
Disamping itu juga, pembelajaran sains khususnya fisika sering menjadi momok bagi peserta didik untuk mempelajarinya. Bayangan rumitnya materi dan perhitungan yang diajarkan, membuat mata pelajaran ini kurang diminati oleh peserta didik. Hanya sebagian kecil saja dari peserta didik yang menyukainya, sebagian besarnya kurang termotivasi untuk mempelajarinya.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional yang menyatkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Inilah salah satu tujuan pendidikan yang diharapakan.
Untuk bisa mewujudkan tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang sikdinas di atas, diperlukan suatu proses pembelajaran yang aktif interaktif dan konstruktif. Proses ini akan terjadi manakala pembelajaran sebagai konsteks internal dan eksternal diselenggarakan sebagai proses fasilitasi dan simulasi, artinya pembelajaran merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, dimana pendidik berperan sebagai fasilitator dan motivator agar peserta didik dapat melakukan proses belajar. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa pembelajaran ditandai oleh terjadinya hubungan subtantif antara aspek-aspek konsep, informasi baru dengan komponen-komponen yang relevan dalam pemecahan permasalahan bagi struktur kognitif siswa. Artinya bahwa dalam pembelajaran siswa dapat menciptakan makna-makna melalui pengintegrasian atau pengaitan dengan pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitifnya serta menemukan dan mengkomunikasikannya dengan persoalan atau permasalahan dalam kehidupannya.
Titik sentral setiap peristiwa pembelajaran terletak pada suksesnya siswa mengorganisasikan permasalahan, pengalaman, mengembangkan kemampuan berpikir, bukan pada kebenaran siswa dalam replikasi atas apa yang dikerjakan guru. Mata pelajaran fisika adalah salah satu mata pelajaran rumpun sains yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir anlitis induktif deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar, baik secara kulaitaif dengan menggunakan matematika, serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri.
Seperti halnya permasalahan di atas, permasalahan yang dihadapi SMA Negeri “X” Palangka Raya tidak jauh berbeda. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa siswa belum terlibat secara aktif dalam proses pembelajran sains fisika, membuat mereka enggan mempelajarinya. Pelajaran sain fisika masih dianggap sebagai pelajaran yang menakutkan. Disamping itu, proses pembelajaran sains fisika di kelas belum Optimal.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut kiranya perlu diadakan suatu model pembelajaran yang berbeda. Karena itulah Model Problem Based Learning sebagai solusi dari pemecahan masalah tersebut. Permasalahan tersebut diangkat kedalam suatu penelitian dengan judul “MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI PROGRAM GLB DAN GLBB DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI “X” PALANGKA RAYA .

1.2.   Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapatlah diidentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
         1.         Proses pembelajaran di kelas masih terpusat pada guru disbanding siswa.
         2.         Sikap siswa terhadap pembelajaran fisika cenderung negative, fisika dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan kurang menarik.
         3.         Proses pembelajaran fisika di kelas belum optimal.

1.3.   Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
         1.         Bagaimana proses pelaksaan pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015 ?
         2.         Apakah penerapan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015 dapat mengoptimalkan pembelajaran fisika ?
         3.         Seberapa besar keoptimalan pembelajaran fisika dengan penerapan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015 yang diperoleh ?

1.4.   Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
         1.         Mendiskripsikan pelaksanaan proses pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
         2.         Mengoptimalkan pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
         3.         Mendiskripsikan pengoptimalan pembelajran fisika dengan model model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.

1.5.   Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, antara lain:
         1.         Bagi siswa, yaitu:
a.       Merubah sikap negative menjadi positif terhadap pembelajaran fisika.
b.      Membantu memahami konsep-konsep fisika serta meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dikelas.
         2.         Bagi guru, memberikan sumbangan model pembelajaran fisika yang berbasis pembelajaran aktif.
         3.         Bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai wawasan dan pengalaman dalam menerapkan model pembejaran dikelas dan juga sebagai modal peneliti dalam melakukan pengajaran selajutnya.
         4.         Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk dikembangkan lagi secara mendalam.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1.   Definisi Istilah atau Operasional
Untuk menghindari  terjadi kerancuan penafsiran dan pemaknaan  dalam penelitian ini maka perlu didefinisikan dulu secara operasional beberapa pegertian yang  dalam penelitian ini sebagai berikut:
2.1.1.      Meningkatkan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Meningkatkan merupakan suatu usaha untuk menaikan, mempertinggi, memperhebat suatu yang ada.

2.1.2.      Pemahaman Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pemahaman Konsep berarti mengerti dengan tepat suatu ide abtrak yang memungkinkan seseorang untuk menggolongkan suatu objek atau kejadian.

2.1.3.      Materi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Materi merupakan suatu yang menjadi bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, ataupun dikarangkan.

2.1.4.      Program
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Program dalam suatu pendidikan merupakan system persekolahan ataupun pengajaran untuk mata pelajaran yang diperuntukan bagi siswa yang ingin melajutkan studi.

2.1.5.      GLB dan GLBB
Gerak Lurus Beraturan (GLB) dan Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB) merupakan salah satu materi pokok dalam pembelajaran fisika.

2.1.6.      Pembelajaran Fisika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pembelajaran Fisika  merupakan suatu proses, cara, perbuatan menjadikan orang untuk balajar fisika.

2.1.7.      Model Problem Based Learning
Model Problem Based Learning (PBL) merupakan salah-satu model pembelajaran yang digunakan dalam dunia pendidikan.

2.2.   Tinjauan Fisika Dalam Pendidikan
Fisika berasal dari bahasa Yunani yang berarti “alam”. Fisika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat dan gejala pada benda-benda di alam. Gejala-gejala ini pada mulanya adalah apa yang dialami oleh indra kita, misalnya penglihatan menemukan optika atau cahaya, pendengaran menemukan pelajaran tentang bunyi, dan indra peraba yang dapat merasakan panas.
Fisika menjadi ilmu pengetahuan yang mendasar, karena berhubungan dengan perilaku dan struktur benda, khususnya benda mati. Menurut sejarah, fisika adalah bidang ilmu yang tertua, karena dimulai dengan pengamatanpengamatan dari gerakan benda-benda langit, bagaimana lintasannya, periodenya, usianya, dan lain-lain. Bidang ilmu ini telah dimulai berabad-abad yang lalu, dan berkembang pada zaman Galileo dan Newton. Galileo merumuskan hukum-hukum mengenai benda yang jatuh, sedangkan Newton mempelajari gerak pada umumnya, termasuk gerak planet-planet pada sistem tata surya.
Fisika adalah salah satu ilmu pengetahuan alam dasar yang banyak digunakan sebagai dasar bagi ilmu-ilmu yang lain. Fisika adalah ilmu yang mempelajari gejala alam secara keseluruhan. Fisika mempelajari materi, energi, dan fenomena atau kejadian alam, baik yang bersifat makroskopis (berukuran besar, seperti gerak Bumi mengelilingi Matahari) maupun yang bersifat mikroskopis (berukuran kecil, seperti gerak elektron mengelilingi inti) yang berkaitan dengan perubahan zat atau energi.
Fisika menjadi dasar berbagai pengembangan ilmu dan teknologi. Kaitan antara fisika dan disiplin ilmu lain membentuk disiplin ilmu yang baru, misalnya dengan ilmu astronomi membentuk ilmu astrofisika, dengan biologi membentuk biofisika, dengan ilmu kesehatan membentuk fisika medis, dengan ilmu bahan membentuk fisika material, dengan geologi membentuk geofisika, dan lain-lain. Pada bab ini akan dipelajari tentang dasar-dasar ilmu fisika.
Pada zaman modern seperti sekarang ini, ilmu fisika sangat mendukung perkembangan teknologi, industri, komunikasi, termasuk kerekayasaan (engineering), kimia, biologi, kedokteran, dan lain-lain. Ilmu fisika dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai fenomenafenomena yang menarik. Mengapa bumi dapat mengelilingi matahari? Bagaimana udara dapat menahan pesawat terbang yang berat? Mengapa langit tampak berwarna biru? Bagaimana siaran/tayangan TV dapat menjangkau tempattempat yang jauh? Mengapa sifat-sifat listrik sangat diperlukan dalam sistem komunikasi dan industri? Bagaimana peluru kendali dapat diarahkan ke sasaran yang letaknya sangat jauh, bahkan antarbenua? Dan akhirnya, bagaimana pesawat dapat mendarat di bulan? Ini semua dipelajari dalam berbagai bidang ilmu fisika.
Bidang fisika secara garis besar terbagi atas dua kelompok, yaitu fisika klasik dan fisika modern. Fisika klasik bersumber pada gejala-gejala yang ditangkap oleh indra. Fisika klasik meliputi mekanika, listrik magnet, panas, bunyi, optika, dan gelombang yang menjadi perbatasan antara fisika klasik dan fisika modern. Fisika modern berkembang mulai abad ke-20, sejak penemuan teori relativitas Einstein dan radioaktivitas oleh keluarga Curie.


2.3.   Model Pembelajaran Problem Based Learning
Menurut Sudarman (2005: 69) mendefinisikan Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.. Lebih lanjut, Sudarman menjelaskan bahwa landasan teori PBL adalah kolaboratisme, suatu perspektif yang berpendapat bahwa mahasiswa atau siswa akan menyusun pengetahuan dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimilikinya dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu.
Model pembelajaran problem based learning awalnya dirancang untuk program graduate bidang kesehatan oleh Barrows, Howard (1986) yang diadaptasi dalam bidang pendidikan oleh Gallagher (1995). Problem based learning disetting dalam bentuk pembelajaran yang diawali dengan sebuah masalah menggunakan instruktur sebagai pelatihan metakognitif dan diakhiri dengan penyajian dan analisis kerja siswa.
Model pembelajaran problem based learning berlandaskan pada psikologi kognitif, sehingga fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa, melainkan kepada apa yang sedang mereka pikirkan pada saat melakukan kegiatan itu. Pada problem based learning, guru lebih berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar berfikir dan memecahkan masalah mereka sendiri. Belajar berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim, 2000).
Pedagogi John Dewey menganjurkan untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas yang berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah tersebut. Pembelajaran yang berdayaguna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi situasi yang bermakna merupakan hubungan problem based learning dengan psikologi Dewey. Selain Dewey, ahli psikologi Eropa Jean Piaget tokoh pengembang konsep konstruktivisme telah memberi dukungannya. Pandangan konstruktivisme kognitif yang didasari atas teori Piaget menyatakan bahwa siswa dalam segala usianya secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuannya sendiri (Ibrahim, 2000).
Adaptasi struktur problem based learning dalam kelas-kelas sains dilakukan dengan menjamin penerapan beberapa komponen penting dari sains. Empat penerapan esensial dari problem based learning adalah seperti diurutkan dalam (Galagher et.al :1995) yaitu sebagai berikut :
1)  Orientasi siswa pada masalah
Pada saat memulai pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan sikap positif terhadap pelajaran. Guru menyampaikan bahwa perlu adanya elaborasi tentang hal-hal sebagai berikut :
·         Tujuan utama dari pembelajaran adalah tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, namun lebih kepada menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadikan siswa yang mandiri.
·         Permasalahan yang diselidiki tidak memiliki jawaban mutlak ”benar”. Sebuah penyelesaian yang kompleks memiliki banyak penyelesaian yang terkadang bertentangan.
·         Selama tahap penyelidikan dalam pembelajaran, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi dengan bimbingan guru.
·         Pada tahap analisis dan penyelesaian masalah siswa didorong untuk menyampaikan idenya secara terbuka.
Guru perlu menyajikan masalah dengan hati-hati dengan prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi. Hal penting di sini adalah orientasi kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan selanjutnya. Oleh karena itu pada tahap ini presentasi harus menarik minat siswa dan menimbulkan rasa ingin tahu.
2)   Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Problem based learning membutuhkan keterampilan kolaborasi diantara siswa menurut mereka untuk menyelidiki masalah secara bersama. Oleh karena itu mereka juga membutuhkan bantuan untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas belajarnya.
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif juga berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok problem based learning. Intinya di sini adalah guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.
3)   Membantu penyelidikan siswa
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data atau melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi dari masalah tersebut. Tujuannya agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk membangun ide mereka sendiri. Siswa akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana menjadi penyelidik yang aktif dan bagaimana menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang sedang dipelajari.
Setelah siswa mengumpulkan cukup data mereka akan mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan dan pemecahan. Selama tahap ini guru mendorong semua ide dan menerima sepenuhnya ide tersebut.
4)   Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang akan disajikan. Masing-masing kelompok menyajikan hasil pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu diskusi. Penyajian hasil karya ini dapat berupa laporan, poster maupun media-media yang lain.
5)   Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tahap akhir ini meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan disamping itu juga mengevaluasi keterampilan penyelidikan dan keterampilan intelektual yang telah mereka gunakan.
Selanjutnya beberapa ciri penting problem based learning sebagai berikut (Brook & Martin, 1993).
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pebelajar dalam pola pemecahan masalah. Kondisi ini akan dapat mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan. Dalam konteks belajar kognitif sejumlah tujuan yang terkait adalah belajar langsung dan mandiri, pengetahuan dan pemecahan masalah. Sehingga untuk mencapai keberhasilan, para pebelajar harus mengembangkan keahlian belajar dan mampu mengembangkan strategi dalam mengidentifikasi dan menemukan permasalahan belajar, evaluasi dan juga belajar dari berbagai sumber yang relevan.
Keberlanjutan masalah
Dalam hal ini ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama, harus dapat memunculkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain yang dibahas. Kedua, permasalahan hendaknya riil sehingga memungkinkan terjadinya kesamaan pandang antarsiswa. Ada tiga alasan kenapa permasalahan harus nyata (realistik),yaitu (1) Siswa terkadang terbuka untuk meneliti semua dimensi dari permasalahan sehingga dapat mengalami kesulitan dalam menciptakan suatu permasalahan yang luas dengan informasi yang sesuai. (2) Permasalahan nyata cenderung untuk lebih melibatkan siswa terhadap suatu konteks tentang kesamaan dengan permasalahan. (3) Siswa segera ingin tahu hasil akhir dari penyelesaian masalahnya.
Adanya presentasi permasalahan
Siswa dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan sehingga mereka merasa memiliki permasalahan tersebut. Ada dua hal pokok dalam mempresentasikan permasalahan. Pertama, jika siswa dilibatkan dalam pemecahan masalah yang autentik, maka mereka harus memiliki permasalahan tersebut. Kedua, adalah bahwa data yang ditampilkan dalam presentasi permasalahan tidak menyoroti faktor-faktor utama dalam masalah tersebut, namun dapat ditampilkan sebagai dasar pertanyaan sehingga tidak menampilkan informasi kunci
Peran guru sebagai tutor dan fasilitator
Dalam hal ini peran guru sebagai fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir siswa dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu siswa untuk menjadi mandiri. Kemampuan dari tutor sebagai fasilitator keterampilan mengajar kelompok kecil dam proses pembelajaran merupakan penentu utama dari kualitas dan keberhasilan. Setiap metode pendidikan bertujuan: (1) Mengembangkan kreativitas pada siswa dan keahlian berpendapat. (2) Membantu mereka untuk menjadi mandiri. Sedangkan tutorial adalah suatu penggunaan keahlian yang menitikberatkan masalah dasar belajar langsung mandiri (Barrows dalam Savery & Duffy, 1994).
Barrows (1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem Based Learning in Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik Problem Based Learning sebagai berikut:
1)      Proses pembelajaran bersifat Student Centered. Melalui bimbingan tutor (guru), siswa harus bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk memperoleh pemahahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan dan menentukan dimana mereka akan memperoleh informasi (buku teks, jurnal, internet, dsb).
2)      Proses pembelajaran pembelajaran berlangsung pada kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri dari 5-8 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum. Kondisi demikian akan memberikan kondisi praktis kepada siswa untuk bekerja dan belajar secara lebih intensif dan efektif dalam variasi kelompok.
3)      Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Dalam hal ini guru tidak berperan sebagai penceramah atau pemberi faktual, namun berperan sebagai fasilitator. Guru tidak memberitahu siswa tentang apa yang mereka harus pelajari atau baca. Siswa itu sendirilah (secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka pahami agar mampu memecahkan masalah yang telah disajikan guru pada awal setting pembelajaran.
4)      Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran. Misalnya, masalah pasien atau kesehatan masyarakat disajikan dalam berbagai bentuk seperti kasus tertulis, simulasi pasien, simulasi komputer atau video. Kondisi demikian akan menantang dan menghadapkan siswa dalam kondisi praktis serta akan memotivasi siswa untuk belajar. Untuk memecahkan masalah tersebut, siswa akan merealisasikan apa yang perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar serta akan mengarahkan mereka untuk mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu.
5)      Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (self directed learning). Siswa diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya melalui belajar mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi yang sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama dalam kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, mereview serta berdebat tentang apa yang sudah mereka pelajari.
6)      Masalah merupakan wahana untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik. Format permasalahan hendaknya mempresentasikan permasalahan pasien sesuai dengan dunia realita. Format permasalahan juga harus memberi kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, melakukan tes fisik, tes laboratorium dan tuntutan lainnya.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang program pengajaran yang berorientasi pada problem based learning sehingga proses pembelajaran benar-benar berpusat pada siswa (student centered) adalah sebagai berikut (Gallagher & Stepien, 1995):
1.  Fokuskan permasalahan (problem) sekitar pembelajaran konsep-konsep esensial yang strategis. Gunakan permasalahan dan konsep untuk membantu siswa melakukan investigasi substansi isi (content).
2.  Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasannya melalui eksperimen atau studi lapangan. Siswa akan menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
3.  Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola data yang mereka miliki yang merupakan proses metakognisi.
4.  Berikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi yang mereka kemukakan. Penyajian dapat dilakukan dalam bentuk seminar atau publikasi atau dalam bentuk penyajian poster.
Prosedur dan tahapan pelaksanaan proses pembelajaran problem based learning adalah sebagai berikut (dimodifikasi dari Barrows and Myers, 1993).
PENDAHULUAN
1.    Penyampaian tujuan pembelajaran
2.    Apersepsi

SETTING PERMASALAHAN
1.    Penyampaian masalah
2.    Internalisasi masalah oleh siswa
3.    Menggambarkan hasil/performan yang diperlukan
4.    Pemberian tugas-tugas meliputi (pengajuan hipotesis, pengumpulan fakta, mensintesa informasi yang tersedia melalui kegiatan inkuiri, membuat catatan yang diperlukan, merancang kegiatan/penyelidikan yang berkaitan upaya pemecahan masalah)
5.    Pemberian alasan terhadap permasalahan
6.    Identifikasi sumber-sumber pembelajaran
7.    Penjadwalan tindak lanjut

PRESENTASI
1.    Penyajian pemecahan masalah
2.    Diskusi
AKHIR KEGIATAN
1. Memiliki pengetahuan
2. Penilaian diri melalui hasil diskusi

Sebagai model pembelajaran problem based learning disamping memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan. (Wina Sanjaya 2006: 218) menyatakan keunggulan problem based learning adalah:
1.       Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
2.       Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
3.       Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
4.       Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
5.       Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping juga dapat mendorong untuk melakukan siendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
6.       Melalui pemecahan masalah bisa diperlihatkan bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang dimengerti oleh siswa bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku saja.
7.       Pemecahan masalah dipandang lebih mengasikkan dan disukai siswa.
8.       Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan pengetahuan baru.
9.       Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka miliki dalam dunia nyata.
10.   Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Sedangkan kelemahannya adalah:
1.       Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan sehingga masalah yang dipelajari sulit dipecahkan maka siswa akan merasa enggan untuk mencoba.
2.       Keberhasilan pembelajaran ini membutuhkan cukup banyak waktu.
3.       Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Belajar berbasis masalah berakar dari pandangan John Dewey, yang menyatakan bahwa sekolah mestinya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Pandangan ini mengharuskan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual dan sosial. Pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki manfaat nyata daripada abstrak. Pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik yang merupakan pilihan mereka sendiri. Visi pembelajaran yang berdayaguna atau terpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan siswa untuk menyelidiki secara  pribadi masalah tersebut. Hal ini secara jelas menghubungkan BBM dengan filosofi pendidikan dan pedagogi Dewey.
BBM juga dikembangkan dari konsep konstruktivisme atas dasar pandangan Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha ingin memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu ini, menurut Piaget dapat memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka mengenai lingkungan yang mereka hayati. Pada saat mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu, pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka dan memotivasinya untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
Pandangan ini lebih lanjut mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis namun secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogi yang baik harus melibatkan anak dengan situasi-situasi dimana anak itu secara mandiri melakukan eksperimen, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang mereka temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain dan membandingkan temuannya dengan temuan anak lain (dalam Ibrahim dan Nur, 2000).
Di pihak lain, Lev Vygostsky percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman. Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang telah dimilikinya untuk membangun pengertian baru. Vygotsky memberi tempat yang lebih penting pada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa mereka interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Pada dasarnya, baik Piaget maupun Vigotsky, sama-sama mengembangkan konstruktivisme psikologis. Namun demikian, Piaget lebih menekankan pada konstruktivisme psikologis yang bersifat personal, sedangkan Vigotskty lebih menekankan pada kontruktivisme psikologis yang bersifat sosial (Suparno, 1997: 43). Kedua konsep konstruktivisme tersebut menjadi landasan pokok model Belajar Berdasarkan Masalah.
BBM juga berlandaskan pada social leraning theory Albert Bandura, yang fokus pada pembelajaran dalam konteks sosial (social context). Teori ini menyatakan bahwa seorang belajar dari orang lain, termasuk konsep dari belajar observasional, imination dan modeling. Prinsip umum dari social learning theory selengkapnya dinyatakan oleh Armrod (1999) sebagai berikut:
General principles of social learning theory follows:
1.  People  can learn by observing the behavior is of others and the autcomes of those behaviors.
2.      Learning can occur without a change in behavior. Behaciorists say that learning has to be represented by a permanent change in behavior, in contrast social learning theorists say that because people can learn thourg observation alone, their learning may not necessarily be shown in their performance. Learning may or may not result in a behavior change.
3.      Cognition plays a role in learning. Over the last 30 years social learning theory has become increasingly cognitive in its interpretation of human learning. Awareness and expectation of future reinforcements or punishments can have a major effect on the behaviors that people exhibit.
4.      Social learning theory can be considered a bridge or a transition between behaviorist learning theories and cognitive learning theories.
 Belajar Berbasis Masalah didukung pula oleh teorinya Jerome Bruner yang dikenal dengan pembelajaran penemuan. Belajar penemuan ini merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi. Tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya pengetahuan siswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk penemuan siswa. Pembelajaran penemuan diterapkan dengan menekankan penalaran induktif dan proses-proses inkuiri yang merupakan ciri dari metode ilmiah. Belajar berdasarkan masalah pada intinya adalah melakukan proses inkuiri tersebut.
Kaitan intelektual antara pembelajaran penemuan dan belajar berbasis masalah sangat jelas. Pada kedua model ini, guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan siswa menentukan atau mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada belajar berbasis masalah atau penemuan, guru mengajukan pertanyaan atau masalah kepada siswa dan memperbolehkan siswa untuk menemukan ide dan teori mereka sendiri.
Belajar Berbasis Masalah (BBM) memiliki nama lain yang pada dasarnya bermakna sama, seperti Problem-Based Learning (PBL), Problem-Based Instruction (PBI), Project-Based Teaching (Pembelajaran Proyek), Experienced Based Education (Pendidikan Berdasarkan Pengalaman), Authentic Learning (Belajar Autentik) dan Echored Instruction (Pembelajaran Berakar pada Kehidupan Nyata).
Belajar Berbasis Masalah (BBM) adalah pembelajaran yang dirancang berdasarkan masalah kehidupan yang bersifat tidak tentu (ill-structured), terbuka dan mendua. Masalah yang tidak tentu adalah masalah yang kabur, tidak jelas, atau belum terdefinisikan (Fogarty, dalam Arnyana, 2004). Sedangkan Boud (1985: 1) menyatakan bahwa Belajar adalah masalah merupakan pembelajaran yang dimulai dengan penyajian masalah, yang berupa pertanyaan atau teka-teki yang dapat merangsang siswa untuk menyelesaikannya. Definisi yang hampir sama dinyatakan oleh Ibrahim dan Nur (2000: 3), bahwa BBM terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Secara lebih spesifik, Barrows (1996: 5) menyatakan bahwa BBM merupakan pembelajaran yang memiliki karakteristik, yakni (1) belajar berpusat pada siswa, (2) belajar terjadi dalam kelompok kecil, (3) guru berperan sebagai fasilitator atau penuntun, (4) bentuk masalah difokuskan pada pengaturan dan merangsang untuk belajar, (5) masalah merupakan sarana untuk membangun keterampilan pemecahan masalah, (6) informasi baru diperoleh melalui self-directing learning.
Belajar Berbasis Masalah diterapkan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar (Ibrahim dan Nur, 2000). Peran guru dalam pembelajaran ini adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi, guru melakukan scaffolding, yaitu suatu kerangka dukungan yang memperkaya keterampilan dan pertumbuhan intelektual siswa. BBM tidak terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka.
Belajar Berbasis Masalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Mengajukan pertanyaan atau masalah. BBM mengorganisasikan pertanyaan dan masalah yang sangat penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Masalah yang diajukan berupa situasi kehidupan nyata/autentik, menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi tersebut. (2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. (3) Penyelidikan autentik. BBM mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian masalah secara nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan simpulan sebagai solusi terhadap masalah yang diajukan. (4) Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. BBM menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. (5) Kerja sama. BBM juga dicirikan oleh siswa bekerjasama antara yang satu dengan lainnya dalam bentuk berpasangan atau berkelompok (antara 4-8 siswa) dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam pembelajarannya, siswa bekerjasama antara satu dengan yang lain, untuk mengembangkan keterampilan berpikir (Ibrahim dan Nur, 2000: 5-6).
Belajar berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan keterampilan intelektual. Di samping itu, BBM memberikan kesempatan belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi serta menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim dan Nur, 2000). BBM dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini didukung oleh Hastings yang mengemukakan bahwa belajar berdasarkan masalah dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis serta menghadapkan siswa pada latihan untuk memecahkan masalah (dalam Arnyana, 2004).
(Ibrahim dan Nur 2000) memberikan rasional tentang bagaimana BBM membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar pentingnya peran orang dewasa. Mereka lebih lanjut mengungkapkan bagaimana pembelajaran di sekolah seperti yang dipahami secara tradisional, berbeda dalam empat hal penting dari aktivitas mental dan belajar yang terjadi di luar sekolah. Keempat hal tersebut dipaparkan seperti berikut: (1) Pembelajaran di sekolah berpusat pada kinerja siswa secara individual, sementara di luar sekolah kerja mental melibatkan kerjasama dengan orang lain. (2) Pembelajaran di sekolah terpusat pada proses berpikir tanpa bantuan, sementara aktivitas mental di luar sekolah selalu melibatkan alat-alat kognitif seperti komputer, kalkulator dan instrumen ilmiah lainnya. (3) Pembelajaran di sekolah mengembangkan berpikir simbolik berkaitan dengan situasi hipotesis, sementara aktivitas mental di luar sekolah mengharapkan masing-masing individu berhadapan secara langsung dengan benda dan situasi yang kongkret. (4) Pembelajaran di sekolah memusatkan pada keterampilan umum, sementara di luar sekolah memerlukan kemampuan khusus.
Belajar berbasis masalah biasanya terdiri dari 5 tahap yang dimulai dengan (1) orientasi siswa kepada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Nur, 2000: 13); Arends, 2004: 406). Jika jangkauan masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahapan tersebut mungkin dapat diselesaikan dalam 2 sampai 3 kali pertemuan. Namun untuk masalah yang kompleks mungkin akan dibutuhkan setahun penuh untuk menyelesaikannya. Model belajar berbasis masalah, pada umumnya diterapkan pada bidang-bidang sains, untuk penerapannya pada bidang matematika, perlu adanya modfikasi.
Secara garis besar kelima langkah tersebut tetap, yang perlu sedikit penyesuaian adalah pada kegiatan guru dan kegiatan siswa. Kelima tahapan tersebut secara lengkap disajikan pada tabel berikut :
Tahap
Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
Tahap 1
Orientasi siswa kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan kebutuhan yang diperlukan dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya
Siswa menginventarisasi dan mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Siswa berada dalam kelompok yang telah ditetapkan
Tahap 2
Mengorganisasi siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
Siswa membatasi permasalahannya yang akan dikaji
Tahap 3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
Siswa melakukan inkuiri, investigasi, dan bertanya untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang dihadapi
Tahap 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan laporan serta membantu siswa untuk berbagai tugas dalam kelompoknya
Siswa menyusun laporan dalam kelompok dan menyajikannya dihadapan kelas dan berdiskusi dalam kelas
Tahap 5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan  proses-proses yang mereka gunakan.
Siswa mengikuti tes dan menyerahkan tugas-tugas sebagai bahan evaluasi proses belajar


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.   Jenis Penelitian 
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang  dimaksudkan untuk menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala atau keadaan (Suharsimi Arikunto, 2005: 234). Penelitian ini berusaha untuk menjawab permasalahan yang diajukan peneliti tentang pembelajaran fisika menggunakan pendekatan konseptual interaktif dengan seting investigasi kelompok pada materi fluida statis, yakni bagaimana peningkatan pemahaman konsep siswa, peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa, dan bagaimana hubungan antara peningkatan pemahaman konsep terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa setelah dilaksanakan proses pembelajaran ini.

3.2.   Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1.      Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri ”X Palangka Raya pada kelas X Semester 1 Tahun Ajaran 2014/2015.
3.2.2.      Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai Oktober 2014.

3.3.   Populasi dan Sampel
3.3.1        Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X Semester 1 SMA Negeri X” Palangka Raya Tahun Ajaran 2014/2015, yang terdiri dari 4 (empat) kelas dengan jumlah 154 orang siswa, di mana sebaran populasi tiap-tiap kelas.

3.3.2        Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsimi Arikunto, 2005: 91). Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak satu kelas dari keseluruhan kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya. Sampel penelitian dipilih secara acak (random sampling) berdasarkan dengan asumsi kelasnya adalah homogen, yaitu dengan melakukan undian terhadap semua kelas populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas X4 dengan jumlah 39 siswa.

3.4.   Prosedur Penelitian
3.4.1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.        Penyusunan draf proposal.
2.        Menentukan tempat penelitian.
3.        Seminar proposal penelitian.
4.        Permohonan izin penelitian pada instansi terkait.
5.        Membuat instrumen penelitian.
6.        Menentukan kelompok sampel.
7.        Melaksanakan uji coba instrumen Tes Hasil Belajar (THB).
8.        Menganalisis data hasil uji coba instrumen (THB).
3.4.2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan penelitian ini menggunakan rancangan panel (design) one shot case study, yaitu sebuah eksperimen yang dilaksanakan tanpa adanya kelompok pembanding dan juga tanpa tes awal (Suharsimi Arikunto, 2003: 279). Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1.             Peneliti melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis. Pada tahap ini dilaksanakan pula pengamatan terhadap aktivitas guru dan siswa.
2.             Peneliti memberikan tes hasil belajar pada akhir seluruh pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa terhadap materi yang diberikan.
3.             Peneliti memberikan tes kemampuan berpikir kritis pada setiap akhir  pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa pada materi fluida statis.
3.4.3. Tahap Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada saat penelitian ini yaitu :
1.             Data aktivitas guru dan siswa diperoleh melalui lembar pengamatan aktivitas guru dan siswa yang diisi oleh pengamat ketika pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) sedang berlangsung.
2.             Data hasil belajar siswa diperoleh melalui pemberian tes hasil belajar pada akhir seluruh pembelajaran dengan mengimplementasikan model Problem Based Learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.             Data kemampuan berpikir kritis siswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir kritis siswa yang diberikan pada akhir tiap pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.4.4. Tahap Analisis Data
Analisis data yang dilakukan setelah data terkumpul adalah sebagai berikut:
1.             Menganalisis data aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran dengan penerapan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis.
2.             Menganalisis ketuntasan hasil belajar kognitif siswa setelah pembelajaran dengan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.             Menganalisis kemampuan berpikir kritis siswa setelah diberikan pembelajaran dengan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.4.5  Tahap Kesimpulan
Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan secara “deskriptif” dari hasil analisis data agar terlihat gambaranhasil penelitian dan untuk mendeskripsikan penerapan  model pembelajaran problem based learning (PBL) pada materi fluida statis pada siswa kelas X Semester 1 SMA Negeri “X” Palangka Raya tahun ajaran 2014/2015.

3.5.   Intrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini  adalah:
1.         Instrumen 1: yaitu pemahaman konsep yang terdiri atas dua: pretest dan postest. Instrumen ini berupa tes soal esai dengan bentuk label konsep (LK). Untuk mengukur pemahaman konsep siswa sebelum mendapat perlakuan pendekatan pembelajaran konseptual interaktif berseting investigasi kelompok dilakukan pretest, sedangkan untuk mengukur pemahaman konsep siswa setelah mendapatkan perlakuan diberikan postest. Tes pemahaman konsep ini terdiri dari 4 soal untuk masing-masing LK, dengan rincian soal pemahaman konsep aspek kemampuan menginterpretasikan sebanyak 1 soal, kemampuan mencontohkan sebanyak 1 soal, kemampuan membandingkan sebanyak 1 soal, dan kemampuan menjelaskan sebanyak 1 soal. Soal tes pemahaman konsep ini ditelaah berdasarkan 19 kriteria penilaian.
2.         Instrumen 2: yaitu kemampuan pemecahan masalah yang terdiri atas dua: pretest dan postest. Instrumen ini berupa tes soal uraian dengan bentuk label masalah (LM).

3.6     Uji Coba Instrumen
Pengujian instrumen THB berupa tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda. Uji coba instrumen direncanakan di kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya yang telah menerima materi GLB dan GLBB. Uji coba penelitian ini meliputi validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda instrumen.

3.7     Teknik Analisis Ujicoba Instrumen
Ujicoba pada THB dilakukan untuk mengukur validasi, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda.
3.7.1. Uji Validitas
Validitas dapat diartikan dengan kebenaran, keshahihan atau keabsahan yang berkenaan dengan ketetapan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Untuk mengetahui validitas instrumen  digunakan rumus korelasi point biserial sebagai berikut:

.............................................................................  (3.1)
(Suharsimi Arikunto, 2007: 79)
Keterangan :               
     =  Koefisien korelasi point biserial
      =  Rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi item yang  dicari   
               validitasnya
      =  Rerata skor total
St            =  Standar deviasi skor total
p          =  Proporsi siswa yang menjawab benar
                           
q          =  Proporsi siswa yang menjawab salah ( q = 1 – p )
Kriteria validitas instrumen adalah sebagai berikut (Suharsimi Arikunto, 2007 : 75):
Tabel
Kriteria Validitas Instrumen

Koefisien Validitas
Kriteria
Antara 0,800 sampai dengan 1,00
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Antara 0,400 sampai dengan 0,600
Antara 0,200 sampai dengan 0,400
Antara 0,00 sampai dengan 0,200
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 75
3.7.2  Uji Reliabilitas
Reliabilitas tes berhubungan dengan masalah kepercayaan, suatu tes mempunyai taraf  kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap (Suharsimi Arikunto, 2007: 86). Reliabilitas menunjukkan ketetapan atau keajegan alat penilaian dalam menilai apa yang akan dinilai dan  kapan pun  alat penilaian tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukkan ketetapan. Untuk menguji reliabilitas instrumen menggunakan rumus Kuder-Richardson 21 yaitu sebagai berikut :


....................................................................  (3.2)
(Suharsimi Arikunto, 2007: 103)
Keterangan :
       = Reliabilitas tes secara keseluruhan
n          = Banyaknya butir soal
M         = Rata-rata skor seluruh butir soal
       = Varians total
   Untuk meninterpretasikan harga r11 yang menyatakan nilai reliabelnya sebuah instrument didasarkan menurut kriteria pada table berikut:
Tabel
Kriteria Koefisien Reliabilitas

Koefisien Rehabilitas
Kriteria
Antara 0,800 sampai dengan 1,00
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Antara 0,400 sampai dengan 0,600
Antara 0,200 sampai dengan 0,400
Antara 0,00 sampai dengan 0,200
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 75
3.7.3. Uji Taraf Kesukaran
Indeks kesukaran (difficulty index) adalah bilangan menunjukkan sukar dan mudahnya sesuatu soal (Suharsimi Arikunto, 2007: 207). Besar indeks kesukaran antara 0,00 sampai dengan 1,00. Soal dengan indeks kesukaran 0,00 menunjukkan bahwa soal itu terlalu sukar, sebaliknya indeks 1,00 menunjukkan bahwa soalnya terlalu mudah.. Untuk menghitung besarnya taraf kesukaran suatu tes digunakan rumus sebagai berikut :
P = .................................................................................................  (3.3)
(Suharsimi Arikunto, 2007: 208)            
Keterangan :  
P   =   Taraf Kesukaran
B   =   Banyaknya yang menjawab betul
J    =   Jumlah siswa secara keseluruhan
Klasifikasi indeks kesukaran:
Tabel
Kriteria Indeks Kesukaran


Indeks Kesukaran
Kriteria
Antara 0,00 sampai dengan 0.30
Antara 0,30 sampai dengan 0,70
Antara 0,70 sampai dengan 1,00
Soal Sukar
Soal Sedang
Soal Mudah
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 210
Indeks kesukaran yang semakin tinggi menunjukkan bahwa soal semakin mudah dan semakin tinggi bilangan indeknya.
3.7.4  Uji Daya Pembeda Butir Soal
Daya pembeda soal adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Suharsimi Arikunto, 2007: 211). Rumus untuk mengetahui daya pembeda setiap butir tes adalah :
D = ....................................................................................  (3.4)
(Suharsimi Arikunto, 2007 : 213)                              
Keterangan : 
D    =  daya pembeda butir
 =  banyaknya kelompok atas yang menjawab betul
  =  banyaknya subjek kelompok atas
 =   banyaknya subjek kelompok bawah yang menjawab soal dengan betul
  =  banyaknya subjek kelompok bawah
Klasifikasi daya pembeda adalah sebagai berikut:
Tabel 3.6
Klasifikasi  Daya Pembeda

Klasifikasi
Kriteria
0,00 – 0,20
0,20 – 0,40
0,40 – 0,70
0,70 – 1,00
Negatif
Jelek (Poor)
Cukup (Satisfactory)
Baik (Good)
Baik sekali (excellent)
semuanya tidak baik, jadi semua butir soal mempunyai nilai negatif sebaiknya tidak digunakan.
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 218
3.8     Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif kuantitatif dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian dalam rangka perumusan kesimpulan.
3.8.1  Teknik Analisis Aktivitas Guru dan Siswa
Untuk menganalisis data aktivitas guru dan aktivitas siswa yang diamati dalam kegiatan belajar-mengajar digunakan analisis statistic deskriptif persentase (%) yaitu banyaknya frekuensi tiap aktivitas dibagi seluruh frekuensi aktivitas kali 100%.
3.8.2 Teknik Analisis Data Tes Hasil Belajar(THB)
Analisis data Tes Hasil Belajar (THB) digunakan untuk mengetahui seberapa besar ketuntasan hasil belajar siswa dalam aspek kognitif setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan Model Problem Based Learning (PBL) materi GLB dan GLBB. THB ini dianalisis dengan menggunakan ketuntasan individual, ketuntasan klasikal dan ketuntasan TPK.
(1)          Ketuntasan individu
Individu dikatakan  tuntas bila persentase (P) indikator yang dicapai sebesar ≥ 69%, yaitu ketuntasan yang ditetapkan sekolah SMA Negeri “X” Palangka Raya. Jumlah butir soal sebanyak n, rumus presentase (P) adalah sebagai berikut:
.......................................  (3.5)
(Widiyoko, 2002:55)                                                        
Keterangan:    P          = Persentase
                        n          = Jumlah soal
(2)          Ketuntasan Klasikal
Secara klasikal dikatakan tuntas jika ≥ 85% individu yang tuntas dari jumlah siswa yang berada di kelas tersebut. Rumus presentase (P) adalah sebagai berikut:
.................................................  (3.6)
(Widiyoko, 2002:55)                                                     
Keterangan :       P = Persentase
                     N = Jumlah siswa

(3)          Ketuntasan TPK
Satu TPK tuntas apabila persentase (P) siswa yang mencapai TPK tersebut > 65 %. Untuk jumlah siswa sebanyak N orang, rumus persentasenya (P) adalah sebagai berikut :
P =  x 100 %  ..................... (3.7)
(Widiyoko, 2002:55)
Keterangan:         P      = Persentase ketuntasan TPK
                            N     = Jumlah siswa
3.8.3  Teknik Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Analisis kemampuan berpikir kritis siswa setelah diimplementasikan pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning (PBL) materi fluida statis yaitu dengan memberi penilaian pada setiap keterampilan berpikir kritis yang dilakukan siswa. Kategori yang digunakan untuk menilai kemampuan berpikir kritis dari siswa ditentukan dengan menggunakan skala penilaian pada tiap kemampuan berpikir kritis siswa.

(Adaptasi Kurnia Dewi, 2010)

Kemampuan berpikir kritis siswa akan dibagi menjadi empat kriteria, yaitu sangat baik, baik, kurang baik dan buruk (adaptasi Kurnia Dewi, 2010) yang didapat dari:
Kriteria berpikir kritis yang didapat seperti pada table berikut:
Tabel 2.3
Kriteria Berpikir Kritis

No.
Skor
Ktiteria Berpikir Kritis
1
63 – 81
Sangat Baik
2
43 – 62
Baik
3
24 – 42
Kurang Baik
4
5 – 23
Buruk




DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Supriyono, Widodo. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta

Amir, M. Taufiq. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Arends, Richard. 2008. Learning To Teach (Balajar Untuk Mengajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baharuddin dan Wahyuni, Nur. 2009.  Teori Belajar dan Pembelajaran.Sleman : Ar-Ruszz Media.

Fauzi, Ahmad . 1999. Psikologi Umum. Bandung : CV. Pustaka Setia

Fisher, Alec. 2009. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta : Erlangga

Handayani,Sri dan Damari, Ari. 2009. Fisika Untuk SMA dan MA Kelas IX. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).

Haryadi, Bambang. 2009. Fisika Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).

Johnson, Elaine B. 2009. Contextual Teaching And Learning. Bandung : Mizan Media Utama

Kanginan, Marthen. 2006. Seribu Pena Fisika Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.

Nurachmandani, Setya. 2009. Fisika 2 Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).

Satori, Djam’an & Komariah, Aan. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Suharsimi Arikunto, 2003. Managemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

SuharsimiArikunto. 2007.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Supiyanto. 2007. Fisika Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Phibeta.

Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suyatman, Sunarroso, Sarwono. 2009. Fisika 2 Mudah dan Sederhana Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).

Syah, Muhibbin.2009. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja  Rosdakarya.

Syafarudin dan Nasution, Irawan. 2005. Managemen Pembelajaran. Ciputat : PT Ciputat Press.

Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher.

_______. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, Dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

________. 2010. Mendesain Model Pembelajaran inovatif dan progresif. Jakarta : Kencana.

________. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.

Tipler, Paul A. 1998. Fisika Jilid I untuk Sains dan Teknik ( Terjemahan Lea Prasetio dan Rahmad W. Adi).  Jakarta: Erlangga.

Widiyoko, M. Taufik. 2002. Pengembangan Model Pembelajaran Langsung Yang Menekankan Pada Keterampilan Proses Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Bidang Biologi Pokok Bahasan Sistem Pengeluaran di SLTP. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: UNESA.




MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI
PROGRAM GLB DAN GLBB DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA
SISWA KELAS X SMA NEGERI “X” PALANGKA RAYA
TAHUN AJARAN 2014/2015



PROPOSAL






 















Oleh :

HARAIDHA
NIM. ACB 111 0067





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2014



DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I..... PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1.      Latar Belakang................................................................................ 1
1.2.      Identifikasi Masalah....................................................................... 5
1.3.      Rumusan Masalah........................................................................... 5
1.4.      Tujuan Penelitian............................................................................ 6
1.5.      Manfaat Penelitian.......................................................................... 6
BAB II... KAJIAN PUSTAKA.............................................................................. 8
2.1.      Definisi Istilah atau Operasional..................................................... 8
2.2.      Tinjauan Fisika Dalam Pendidikan................................................. 9
2.3.      Model Pembelajaran Problem Based Learning............................... 12
BAB III.. METODE PENELITIAN....................................................................... 32
3.1.      Jenis Penelitian................................................................................ 32
3.2.      Tempat dan Waktu Penelitian......................................................... 32
3.3.      Populasi dan Sampel....................................................................... 33
3.4.      Prosedur Penelitian......................................................................... 33
3.5.      Intrumen Penelitian......................................................................... 36
3.6.      Uji Coba Intrumen.......................................................................... 37
3.7.      Teknik Analisis Uji Coba Instrumen............................................... 37
3.8.      Teknik Analisis Data....................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 45


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas dalam era globalisasi merupakan suatu keniscayaan, karena dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, suatu bangsa akan mampu mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya. Salah satu ciri sumber daya menusia yang berkualitas adalah disamping memiliki iman dan taqwa (IMTAQ) yang kuat juga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) secara mempuni. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dipergunakan demi mengolah dan mengelola sumber daya alam yang dimiliki bangsa tersebut. bangsa yang kuat adalah bangsa yang paling kuat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sebagai contoh Negara Singapura yang memiliki wilayah jauh lebih kecil dari Negara Indonesia, tetapi lebih makmur disbanding Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Negara Singapura lebih maju dari pada di Negara Indonesia.
Salah satu cara untuk mencetak dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan suatu bangsa. Lewat pendidikan yang berkualitas akan mampu manghasilkan manusia-manusia cerdas, kreatif, mandiri dan percaya diri serat siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam rangka menghadapi globalisasi. Lewat pendidikan ini pula, bangsa ini bisa membebaskan masyarakatnya dari keterpurukan dan kemiskinan. Pendidikan yang berkualitas juga akan menjadi solusi yang tepat bagi pemecahan masalah-masalah yang sedang dihadapi bangsa ini.
Pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2001 yang menunjukan betapa rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dibandingkan Negara lain di Asia, bahkan berada di bawah Vietnam. Sehingga tidaklah heran jika penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia masih rendah.
Rendahnya kualitas pendidikan di Negara Indonesia diakibatkan oleh beberapa permasalahan, diantaranya adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Peserta didika kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran di dalam kelas di arahkan  kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi tanpa dituntuk untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, akan tetapi mereka miskin aplikasi dan tentu saja dalam pemecahan berbagai masalah yang ada dilapangan akan menjadi sulit.
Disamping itu juga, pembelajaran sains khususnya fisika sering menjadi momok bagi peserta didik untuk mempelajarinya. Bayangan rumitnya materi dan perhitungan yang diajarkan, membuat mata pelajaran ini kurang diminati oleh peserta didik. Hanya sebagian kecil saja dari peserta didik yang menyukainya, sebagian besarnya kurang termotivasi untuk mempelajarinya.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional yang menyatkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Inilah salah satu tujuan pendidikan yang diharapakan.
Untuk bisa mewujudkan tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang sikdinas di atas, diperlukan suatu proses pembelajaran yang aktif interaktif dan konstruktif. Proses ini akan terjadi manakala pembelajaran sebagai konsteks internal dan eksternal diselenggarakan sebagai proses fasilitasi dan simulasi, artinya pembelajaran merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, dimana pendidik berperan sebagai fasilitator dan motivator agar peserta didik dapat melakukan proses belajar. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa pembelajaran ditandai oleh terjadinya hubungan subtantif antara aspek-aspek konsep, informasi baru dengan komponen-komponen yang relevan dalam pemecahan permasalahan bagi struktur kognitif siswa. Artinya bahwa dalam pembelajaran siswa dapat menciptakan makna-makna melalui pengintegrasian atau pengaitan dengan pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitifnya serta menemukan dan mengkomunikasikannya dengan persoalan atau permasalahan dalam kehidupannya.
Titik sentral setiap peristiwa pembelajaran terletak pada suksesnya siswa mengorganisasikan permasalahan, pengalaman, mengembangkan kemampuan berpikir, bukan pada kebenaran siswa dalam replikasi atas apa yang dikerjakan guru. Mata pelajaran fisika adalah salah satu mata pelajaran rumpun sains yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir anlitis induktif deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar, baik secara kulaitaif dengan menggunakan matematika, serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri.
Seperti halnya permasalahan di atas, permasalahan yang dihadapi SMA Negeri “X” Palangka Raya tidak jauh berbeda. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa siswa belum terlibat secara aktif dalam proses pembelajran sains fisika, membuat mereka enggan mempelajarinya. Pelajaran sain fisika masih dianggap sebagai pelajaran yang menakutkan. Disamping itu, proses pembelajaran sains fisika di kelas belum Optimal.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut kiranya perlu diadakan suatu model pembelajaran yang berbeda. Karena itulah Model Problem Based Learning sebagai solusi dari pemecahan masalah tersebut. Permasalahan tersebut diangkat kedalam suatu penelitian dengan judul “MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI PROGRAM GLB DAN GLBB DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI “X” PALANGKA RAYA .

1.2.   Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapatlah diidentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
         1.         Proses pembelajaran di kelas masih terpusat pada guru disbanding siswa.
         2.         Sikap siswa terhadap pembelajaran fisika cenderung negative, fisika dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan kurang menarik.
         3.         Proses pembelajaran fisika di kelas belum optimal.

1.3.   Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
         1.         Bagaimana proses pelaksaan pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015 ?
         2.         Apakah penerapan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015 dapat mengoptimalkan pembelajaran fisika ?
         3.         Seberapa besar keoptimalan pembelajaran fisika dengan penerapan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015 yang diperoleh ?

1.4.   Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
         1.         Mendiskripsikan pelaksanaan proses pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
         2.         Mengoptimalkan pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.
         3.         Mendiskripsikan pengoptimalan pembelajran fisika dengan model model Problem Based Learning dengan materi pembelajaran GLB dan GLBB pada siswa kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya Tahun ajaran 2014/2015.

1.5.   Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, antara lain:
         1.         Bagi siswa, yaitu:
a.       Merubah sikap negative menjadi positif terhadap pembelajaran fisika.
b.      Membantu memahami konsep-konsep fisika serta meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dikelas.
         2.         Bagi guru, memberikan sumbangan model pembelajaran fisika yang berbasis pembelajaran aktif.
         3.         Bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai wawasan dan pengalaman dalam menerapkan model pembejaran dikelas dan juga sebagai modal peneliti dalam melakukan pengajaran selajutnya.
         4.         Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk dikembangkan lagi secara mendalam.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1.   Definisi Istilah atau Operasional
Untuk menghindari  terjadi kerancuan penafsiran dan pemaknaan  dalam penelitian ini maka perlu didefinisikan dulu secara operasional beberapa pegertian yang  dalam penelitian ini sebagai berikut:
2.1.1.      Meningkatkan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Meningkatkan merupakan suatu usaha untuk menaikan, mempertinggi, memperhebat suatu yang ada.

2.1.2.      Pemahaman Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pemahaman Konsep berarti mengerti dengan tepat suatu ide abtrak yang memungkinkan seseorang untuk menggolongkan suatu objek atau kejadian.

2.1.3.      Materi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Materi merupakan suatu yang menjadi bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, ataupun dikarangkan.

2.1.4.      Program
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Program dalam suatu pendidikan merupakan system persekolahan ataupun pengajaran untuk mata pelajaran yang diperuntukan bagi siswa yang ingin melajutkan studi.

2.1.5.      GLB dan GLBB
Gerak Lurus Beraturan (GLB) dan Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB) merupakan salah satu materi pokok dalam pembelajaran fisika.

2.1.6.      Pembelajaran Fisika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pembelajaran Fisika  merupakan suatu proses, cara, perbuatan menjadikan orang untuk balajar fisika.

2.1.7.      Model Problem Based Learning
Model Problem Based Learning (PBL) merupakan salah-satu model pembelajaran yang digunakan dalam dunia pendidikan.

2.2.   Tinjauan Fisika Dalam Pendidikan
Fisika berasal dari bahasa Yunani yang berarti “alam”. Fisika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat dan gejala pada benda-benda di alam. Gejala-gejala ini pada mulanya adalah apa yang dialami oleh indra kita, misalnya penglihatan menemukan optika atau cahaya, pendengaran menemukan pelajaran tentang bunyi, dan indra peraba yang dapat merasakan panas.
Fisika menjadi ilmu pengetahuan yang mendasar, karena berhubungan dengan perilaku dan struktur benda, khususnya benda mati. Menurut sejarah, fisika adalah bidang ilmu yang tertua, karena dimulai dengan pengamatanpengamatan dari gerakan benda-benda langit, bagaimana lintasannya, periodenya, usianya, dan lain-lain. Bidang ilmu ini telah dimulai berabad-abad yang lalu, dan berkembang pada zaman Galileo dan Newton. Galileo merumuskan hukum-hukum mengenai benda yang jatuh, sedangkan Newton mempelajari gerak pada umumnya, termasuk gerak planet-planet pada sistem tata surya.
Fisika adalah salah satu ilmu pengetahuan alam dasar yang banyak digunakan sebagai dasar bagi ilmu-ilmu yang lain. Fisika adalah ilmu yang mempelajari gejala alam secara keseluruhan. Fisika mempelajari materi, energi, dan fenomena atau kejadian alam, baik yang bersifat makroskopis (berukuran besar, seperti gerak Bumi mengelilingi Matahari) maupun yang bersifat mikroskopis (berukuran kecil, seperti gerak elektron mengelilingi inti) yang berkaitan dengan perubahan zat atau energi.
Fisika menjadi dasar berbagai pengembangan ilmu dan teknologi. Kaitan antara fisika dan disiplin ilmu lain membentuk disiplin ilmu yang baru, misalnya dengan ilmu astronomi membentuk ilmu astrofisika, dengan biologi membentuk biofisika, dengan ilmu kesehatan membentuk fisika medis, dengan ilmu bahan membentuk fisika material, dengan geologi membentuk geofisika, dan lain-lain. Pada bab ini akan dipelajari tentang dasar-dasar ilmu fisika.
Pada zaman modern seperti sekarang ini, ilmu fisika sangat mendukung perkembangan teknologi, industri, komunikasi, termasuk kerekayasaan (engineering), kimia, biologi, kedokteran, dan lain-lain. Ilmu fisika dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai fenomenafenomena yang menarik. Mengapa bumi dapat mengelilingi matahari? Bagaimana udara dapat menahan pesawat terbang yang berat? Mengapa langit tampak berwarna biru? Bagaimana siaran/tayangan TV dapat menjangkau tempattempat yang jauh? Mengapa sifat-sifat listrik sangat diperlukan dalam sistem komunikasi dan industri? Bagaimana peluru kendali dapat diarahkan ke sasaran yang letaknya sangat jauh, bahkan antarbenua? Dan akhirnya, bagaimana pesawat dapat mendarat di bulan? Ini semua dipelajari dalam berbagai bidang ilmu fisika.
Bidang fisika secara garis besar terbagi atas dua kelompok, yaitu fisika klasik dan fisika modern. Fisika klasik bersumber pada gejala-gejala yang ditangkap oleh indra. Fisika klasik meliputi mekanika, listrik magnet, panas, bunyi, optika, dan gelombang yang menjadi perbatasan antara fisika klasik dan fisika modern. Fisika modern berkembang mulai abad ke-20, sejak penemuan teori relativitas Einstein dan radioaktivitas oleh keluarga Curie.


2.3.   Model Pembelajaran Problem Based Learning
Menurut Sudarman (2005: 69) mendefinisikan Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.. Lebih lanjut, Sudarman menjelaskan bahwa landasan teori PBL adalah kolaboratisme, suatu perspektif yang berpendapat bahwa mahasiswa atau siswa akan menyusun pengetahuan dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimilikinya dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu.
Model pembelajaran problem based learning awalnya dirancang untuk program graduate bidang kesehatan oleh Barrows, Howard (1986) yang diadaptasi dalam bidang pendidikan oleh Gallagher (1995). Problem based learning disetting dalam bentuk pembelajaran yang diawali dengan sebuah masalah menggunakan instruktur sebagai pelatihan metakognitif dan diakhiri dengan penyajian dan analisis kerja siswa.
Model pembelajaran problem based learning berlandaskan pada psikologi kognitif, sehingga fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa, melainkan kepada apa yang sedang mereka pikirkan pada saat melakukan kegiatan itu. Pada problem based learning, guru lebih berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar berfikir dan memecahkan masalah mereka sendiri. Belajar berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim, 2000).
Pedagogi John Dewey menganjurkan untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas yang berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah tersebut. Pembelajaran yang berdayaguna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi situasi yang bermakna merupakan hubungan problem based learning dengan psikologi Dewey. Selain Dewey, ahli psikologi Eropa Jean Piaget tokoh pengembang konsep konstruktivisme telah memberi dukungannya. Pandangan konstruktivisme kognitif yang didasari atas teori Piaget menyatakan bahwa siswa dalam segala usianya secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuannya sendiri (Ibrahim, 2000).
Adaptasi struktur problem based learning dalam kelas-kelas sains dilakukan dengan menjamin penerapan beberapa komponen penting dari sains. Empat penerapan esensial dari problem based learning adalah seperti diurutkan dalam (Galagher et.al :1995) yaitu sebagai berikut :
1)  Orientasi siswa pada masalah
Pada saat memulai pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan sikap positif terhadap pelajaran. Guru menyampaikan bahwa perlu adanya elaborasi tentang hal-hal sebagai berikut :
·         Tujuan utama dari pembelajaran adalah tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, namun lebih kepada menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadikan siswa yang mandiri.
·         Permasalahan yang diselidiki tidak memiliki jawaban mutlak ”benar”. Sebuah penyelesaian yang kompleks memiliki banyak penyelesaian yang terkadang bertentangan.
·         Selama tahap penyelidikan dalam pembelajaran, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi dengan bimbingan guru.
·         Pada tahap analisis dan penyelesaian masalah siswa didorong untuk menyampaikan idenya secara terbuka.
Guru perlu menyajikan masalah dengan hati-hati dengan prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi. Hal penting di sini adalah orientasi kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan selanjutnya. Oleh karena itu pada tahap ini presentasi harus menarik minat siswa dan menimbulkan rasa ingin tahu.
2)   Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Problem based learning membutuhkan keterampilan kolaborasi diantara siswa menurut mereka untuk menyelidiki masalah secara bersama. Oleh karena itu mereka juga membutuhkan bantuan untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas belajarnya.
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif juga berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok problem based learning. Intinya di sini adalah guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.
3)   Membantu penyelidikan siswa
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data atau melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi dari masalah tersebut. Tujuannya agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk membangun ide mereka sendiri. Siswa akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana menjadi penyelidik yang aktif dan bagaimana menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang sedang dipelajari.
Setelah siswa mengumpulkan cukup data mereka akan mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan dan pemecahan. Selama tahap ini guru mendorong semua ide dan menerima sepenuhnya ide tersebut.
4)   Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang akan disajikan. Masing-masing kelompok menyajikan hasil pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu diskusi. Penyajian hasil karya ini dapat berupa laporan, poster maupun media-media yang lain.
5)   Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tahap akhir ini meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan disamping itu juga mengevaluasi keterampilan penyelidikan dan keterampilan intelektual yang telah mereka gunakan.
Selanjutnya beberapa ciri penting problem based learning sebagai berikut (Brook & Martin, 1993).
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pebelajar dalam pola pemecahan masalah. Kondisi ini akan dapat mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan. Dalam konteks belajar kognitif sejumlah tujuan yang terkait adalah belajar langsung dan mandiri, pengetahuan dan pemecahan masalah. Sehingga untuk mencapai keberhasilan, para pebelajar harus mengembangkan keahlian belajar dan mampu mengembangkan strategi dalam mengidentifikasi dan menemukan permasalahan belajar, evaluasi dan juga belajar dari berbagai sumber yang relevan.
Keberlanjutan masalah
Dalam hal ini ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama, harus dapat memunculkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain yang dibahas. Kedua, permasalahan hendaknya riil sehingga memungkinkan terjadinya kesamaan pandang antarsiswa. Ada tiga alasan kenapa permasalahan harus nyata (realistik),yaitu (1) Siswa terkadang terbuka untuk meneliti semua dimensi dari permasalahan sehingga dapat mengalami kesulitan dalam menciptakan suatu permasalahan yang luas dengan informasi yang sesuai. (2) Permasalahan nyata cenderung untuk lebih melibatkan siswa terhadap suatu konteks tentang kesamaan dengan permasalahan. (3) Siswa segera ingin tahu hasil akhir dari penyelesaian masalahnya.
Adanya presentasi permasalahan
Siswa dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan sehingga mereka merasa memiliki permasalahan tersebut. Ada dua hal pokok dalam mempresentasikan permasalahan. Pertama, jika siswa dilibatkan dalam pemecahan masalah yang autentik, maka mereka harus memiliki permasalahan tersebut. Kedua, adalah bahwa data yang ditampilkan dalam presentasi permasalahan tidak menyoroti faktor-faktor utama dalam masalah tersebut, namun dapat ditampilkan sebagai dasar pertanyaan sehingga tidak menampilkan informasi kunci
Peran guru sebagai tutor dan fasilitator
Dalam hal ini peran guru sebagai fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir siswa dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu siswa untuk menjadi mandiri. Kemampuan dari tutor sebagai fasilitator keterampilan mengajar kelompok kecil dam proses pembelajaran merupakan penentu utama dari kualitas dan keberhasilan. Setiap metode pendidikan bertujuan: (1) Mengembangkan kreativitas pada siswa dan keahlian berpendapat. (2) Membantu mereka untuk menjadi mandiri. Sedangkan tutorial adalah suatu penggunaan keahlian yang menitikberatkan masalah dasar belajar langsung mandiri (Barrows dalam Savery & Duffy, 1994).
Barrows (1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem Based Learning in Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik Problem Based Learning sebagai berikut:
1)      Proses pembelajaran bersifat Student Centered. Melalui bimbingan tutor (guru), siswa harus bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk memperoleh pemahahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan dan menentukan dimana mereka akan memperoleh informasi (buku teks, jurnal, internet, dsb).
2)      Proses pembelajaran pembelajaran berlangsung pada kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri dari 5-8 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum. Kondisi demikian akan memberikan kondisi praktis kepada siswa untuk bekerja dan belajar secara lebih intensif dan efektif dalam variasi kelompok.
3)      Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Dalam hal ini guru tidak berperan sebagai penceramah atau pemberi faktual, namun berperan sebagai fasilitator. Guru tidak memberitahu siswa tentang apa yang mereka harus pelajari atau baca. Siswa itu sendirilah (secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka pahami agar mampu memecahkan masalah yang telah disajikan guru pada awal setting pembelajaran.
4)      Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran. Misalnya, masalah pasien atau kesehatan masyarakat disajikan dalam berbagai bentuk seperti kasus tertulis, simulasi pasien, simulasi komputer atau video. Kondisi demikian akan menantang dan menghadapkan siswa dalam kondisi praktis serta akan memotivasi siswa untuk belajar. Untuk memecahkan masalah tersebut, siswa akan merealisasikan apa yang perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar serta akan mengarahkan mereka untuk mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu.
5)      Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (self directed learning). Siswa diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya melalui belajar mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi yang sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama dalam kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, mereview serta berdebat tentang apa yang sudah mereka pelajari.
6)      Masalah merupakan wahana untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik. Format permasalahan hendaknya mempresentasikan permasalahan pasien sesuai dengan dunia realita. Format permasalahan juga harus memberi kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, melakukan tes fisik, tes laboratorium dan tuntutan lainnya.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang program pengajaran yang berorientasi pada problem based learning sehingga proses pembelajaran benar-benar berpusat pada siswa (student centered) adalah sebagai berikut (Gallagher & Stepien, 1995):
1.  Fokuskan permasalahan (problem) sekitar pembelajaran konsep-konsep esensial yang strategis. Gunakan permasalahan dan konsep untuk membantu siswa melakukan investigasi substansi isi (content).
2.  Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasannya melalui eksperimen atau studi lapangan. Siswa akan menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
3.  Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola data yang mereka miliki yang merupakan proses metakognisi.
4.  Berikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi yang mereka kemukakan. Penyajian dapat dilakukan dalam bentuk seminar atau publikasi atau dalam bentuk penyajian poster.
Prosedur dan tahapan pelaksanaan proses pembelajaran problem based learning adalah sebagai berikut (dimodifikasi dari Barrows and Myers, 1993).
PENDAHULUAN
1.    Penyampaian tujuan pembelajaran
2.    Apersepsi

SETTING PERMASALAHAN
1.    Penyampaian masalah
2.    Internalisasi masalah oleh siswa
3.    Menggambarkan hasil/performan yang diperlukan
4.    Pemberian tugas-tugas meliputi (pengajuan hipotesis, pengumpulan fakta, mensintesa informasi yang tersedia melalui kegiatan inkuiri, membuat catatan yang diperlukan, merancang kegiatan/penyelidikan yang berkaitan upaya pemecahan masalah)
5.    Pemberian alasan terhadap permasalahan
6.    Identifikasi sumber-sumber pembelajaran
7.    Penjadwalan tindak lanjut

PRESENTASI
1.    Penyajian pemecahan masalah
2.    Diskusi
AKHIR KEGIATAN
1. Memiliki pengetahuan
2. Penilaian diri melalui hasil diskusi

Sebagai model pembelajaran problem based learning disamping memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan. (Wina Sanjaya 2006: 218) menyatakan keunggulan problem based learning adalah:
1.       Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
2.       Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
3.       Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
4.       Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
5.       Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping juga dapat mendorong untuk melakukan siendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
6.       Melalui pemecahan masalah bisa diperlihatkan bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang dimengerti oleh siswa bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku saja.
7.       Pemecahan masalah dipandang lebih mengasikkan dan disukai siswa.
8.       Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan pengetahuan baru.
9.       Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka miliki dalam dunia nyata.
10.   Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Sedangkan kelemahannya adalah:
1.       Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan sehingga masalah yang dipelajari sulit dipecahkan maka siswa akan merasa enggan untuk mencoba.
2.       Keberhasilan pembelajaran ini membutuhkan cukup banyak waktu.
3.       Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Belajar berbasis masalah berakar dari pandangan John Dewey, yang menyatakan bahwa sekolah mestinya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Pandangan ini mengharuskan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual dan sosial. Pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki manfaat nyata daripada abstrak. Pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik yang merupakan pilihan mereka sendiri. Visi pembelajaran yang berdayaguna atau terpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan siswa untuk menyelidiki secara  pribadi masalah tersebut. Hal ini secara jelas menghubungkan BBM dengan filosofi pendidikan dan pedagogi Dewey.
BBM juga dikembangkan dari konsep konstruktivisme atas dasar pandangan Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha ingin memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu ini, menurut Piaget dapat memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka mengenai lingkungan yang mereka hayati. Pada saat mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu, pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka dan memotivasinya untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
Pandangan ini lebih lanjut mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis namun secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogi yang baik harus melibatkan anak dengan situasi-situasi dimana anak itu secara mandiri melakukan eksperimen, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang mereka temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain dan membandingkan temuannya dengan temuan anak lain (dalam Ibrahim dan Nur, 2000).
Di pihak lain, Lev Vygostsky percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman. Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang telah dimilikinya untuk membangun pengertian baru. Vygotsky memberi tempat yang lebih penting pada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa mereka interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Pada dasarnya, baik Piaget maupun Vigotsky, sama-sama mengembangkan konstruktivisme psikologis. Namun demikian, Piaget lebih menekankan pada konstruktivisme psikologis yang bersifat personal, sedangkan Vigotskty lebih menekankan pada kontruktivisme psikologis yang bersifat sosial (Suparno, 1997: 43). Kedua konsep konstruktivisme tersebut menjadi landasan pokok model Belajar Berdasarkan Masalah.
BBM juga berlandaskan pada social leraning theory Albert Bandura, yang fokus pada pembelajaran dalam konteks sosial (social context). Teori ini menyatakan bahwa seorang belajar dari orang lain, termasuk konsep dari belajar observasional, imination dan modeling. Prinsip umum dari social learning theory selengkapnya dinyatakan oleh Armrod (1999) sebagai berikut:
General principles of social learning theory follows:
1.  People  can learn by observing the behavior is of others and the autcomes of those behaviors.
2.      Learning can occur without a change in behavior. Behaciorists say that learning has to be represented by a permanent change in behavior, in contrast social learning theorists say that because people can learn thourg observation alone, their learning may not necessarily be shown in their performance. Learning may or may not result in a behavior change.
3.      Cognition plays a role in learning. Over the last 30 years social learning theory has become increasingly cognitive in its interpretation of human learning. Awareness and expectation of future reinforcements or punishments can have a major effect on the behaviors that people exhibit.
4.      Social learning theory can be considered a bridge or a transition between behaviorist learning theories and cognitive learning theories.
 Belajar Berbasis Masalah didukung pula oleh teorinya Jerome Bruner yang dikenal dengan pembelajaran penemuan. Belajar penemuan ini merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi. Tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya pengetahuan siswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk penemuan siswa. Pembelajaran penemuan diterapkan dengan menekankan penalaran induktif dan proses-proses inkuiri yang merupakan ciri dari metode ilmiah. Belajar berdasarkan masalah pada intinya adalah melakukan proses inkuiri tersebut.
Kaitan intelektual antara pembelajaran penemuan dan belajar berbasis masalah sangat jelas. Pada kedua model ini, guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan siswa menentukan atau mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada belajar berbasis masalah atau penemuan, guru mengajukan pertanyaan atau masalah kepada siswa dan memperbolehkan siswa untuk menemukan ide dan teori mereka sendiri.
Belajar Berbasis Masalah (BBM) memiliki nama lain yang pada dasarnya bermakna sama, seperti Problem-Based Learning (PBL), Problem-Based Instruction (PBI), Project-Based Teaching (Pembelajaran Proyek), Experienced Based Education (Pendidikan Berdasarkan Pengalaman), Authentic Learning (Belajar Autentik) dan Echored Instruction (Pembelajaran Berakar pada Kehidupan Nyata).
Belajar Berbasis Masalah (BBM) adalah pembelajaran yang dirancang berdasarkan masalah kehidupan yang bersifat tidak tentu (ill-structured), terbuka dan mendua. Masalah yang tidak tentu adalah masalah yang kabur, tidak jelas, atau belum terdefinisikan (Fogarty, dalam Arnyana, 2004). Sedangkan Boud (1985: 1) menyatakan bahwa Belajar adalah masalah merupakan pembelajaran yang dimulai dengan penyajian masalah, yang berupa pertanyaan atau teka-teki yang dapat merangsang siswa untuk menyelesaikannya. Definisi yang hampir sama dinyatakan oleh Ibrahim dan Nur (2000: 3), bahwa BBM terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Secara lebih spesifik, Barrows (1996: 5) menyatakan bahwa BBM merupakan pembelajaran yang memiliki karakteristik, yakni (1) belajar berpusat pada siswa, (2) belajar terjadi dalam kelompok kecil, (3) guru berperan sebagai fasilitator atau penuntun, (4) bentuk masalah difokuskan pada pengaturan dan merangsang untuk belajar, (5) masalah merupakan sarana untuk membangun keterampilan pemecahan masalah, (6) informasi baru diperoleh melalui self-directing learning.
Belajar Berbasis Masalah diterapkan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar (Ibrahim dan Nur, 2000). Peran guru dalam pembelajaran ini adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi, guru melakukan scaffolding, yaitu suatu kerangka dukungan yang memperkaya keterampilan dan pertumbuhan intelektual siswa. BBM tidak terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka.
Belajar Berbasis Masalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Mengajukan pertanyaan atau masalah. BBM mengorganisasikan pertanyaan dan masalah yang sangat penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Masalah yang diajukan berupa situasi kehidupan nyata/autentik, menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi tersebut. (2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. (3) Penyelidikan autentik. BBM mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian masalah secara nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan simpulan sebagai solusi terhadap masalah yang diajukan. (4) Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. BBM menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. (5) Kerja sama. BBM juga dicirikan oleh siswa bekerjasama antara yang satu dengan lainnya dalam bentuk berpasangan atau berkelompok (antara 4-8 siswa) dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam pembelajarannya, siswa bekerjasama antara satu dengan yang lain, untuk mengembangkan keterampilan berpikir (Ibrahim dan Nur, 2000: 5-6).
Belajar berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan keterampilan intelektual. Di samping itu, BBM memberikan kesempatan belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi serta menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim dan Nur, 2000). BBM dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini didukung oleh Hastings yang mengemukakan bahwa belajar berdasarkan masalah dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis serta menghadapkan siswa pada latihan untuk memecahkan masalah (dalam Arnyana, 2004).
(Ibrahim dan Nur 2000) memberikan rasional tentang bagaimana BBM membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar pentingnya peran orang dewasa. Mereka lebih lanjut mengungkapkan bagaimana pembelajaran di sekolah seperti yang dipahami secara tradisional, berbeda dalam empat hal penting dari aktivitas mental dan belajar yang terjadi di luar sekolah. Keempat hal tersebut dipaparkan seperti berikut: (1) Pembelajaran di sekolah berpusat pada kinerja siswa secara individual, sementara di luar sekolah kerja mental melibatkan kerjasama dengan orang lain. (2) Pembelajaran di sekolah terpusat pada proses berpikir tanpa bantuan, sementara aktivitas mental di luar sekolah selalu melibatkan alat-alat kognitif seperti komputer, kalkulator dan instrumen ilmiah lainnya. (3) Pembelajaran di sekolah mengembangkan berpikir simbolik berkaitan dengan situasi hipotesis, sementara aktivitas mental di luar sekolah mengharapkan masing-masing individu berhadapan secara langsung dengan benda dan situasi yang kongkret. (4) Pembelajaran di sekolah memusatkan pada keterampilan umum, sementara di luar sekolah memerlukan kemampuan khusus.
Belajar berbasis masalah biasanya terdiri dari 5 tahap yang dimulai dengan (1) orientasi siswa kepada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Nur, 2000: 13); Arends, 2004: 406). Jika jangkauan masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahapan tersebut mungkin dapat diselesaikan dalam 2 sampai 3 kali pertemuan. Namun untuk masalah yang kompleks mungkin akan dibutuhkan setahun penuh untuk menyelesaikannya. Model belajar berbasis masalah, pada umumnya diterapkan pada bidang-bidang sains, untuk penerapannya pada bidang matematika, perlu adanya modfikasi.
Secara garis besar kelima langkah tersebut tetap, yang perlu sedikit penyesuaian adalah pada kegiatan guru dan kegiatan siswa. Kelima tahapan tersebut secara lengkap disajikan pada tabel berikut :
Tahap
Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
Tahap 1
Orientasi siswa kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan kebutuhan yang diperlukan dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya
Siswa menginventarisasi dan mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Siswa berada dalam kelompok yang telah ditetapkan
Tahap 2
Mengorganisasi siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
Siswa membatasi permasalahannya yang akan dikaji
Tahap 3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
Siswa melakukan inkuiri, investigasi, dan bertanya untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang dihadapi
Tahap 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan laporan serta membantu siswa untuk berbagai tugas dalam kelompoknya
Siswa menyusun laporan dalam kelompok dan menyajikannya dihadapan kelas dan berdiskusi dalam kelas
Tahap 5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan  proses-proses yang mereka gunakan.
Siswa mengikuti tes dan menyerahkan tugas-tugas sebagai bahan evaluasi proses belajar


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.   Jenis Penelitian 
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang  dimaksudkan untuk menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala atau keadaan (Suharsimi Arikunto, 2005: 234). Penelitian ini berusaha untuk menjawab permasalahan yang diajukan peneliti tentang pembelajaran fisika menggunakan pendekatan konseptual interaktif dengan seting investigasi kelompok pada materi fluida statis, yakni bagaimana peningkatan pemahaman konsep siswa, peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa, dan bagaimana hubungan antara peningkatan pemahaman konsep terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa setelah dilaksanakan proses pembelajaran ini.

3.2.   Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1.      Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri ”X Palangka Raya pada kelas X Semester 1 Tahun Ajaran 2014/2015.
3.2.2.      Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai Oktober 2014.

3.3.   Populasi dan Sampel
3.3.1        Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X Semester 1 SMA Negeri X” Palangka Raya Tahun Ajaran 2014/2015, yang terdiri dari 4 (empat) kelas dengan jumlah 154 orang siswa, di mana sebaran populasi tiap-tiap kelas.

3.3.2        Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsimi Arikunto, 2005: 91). Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak satu kelas dari keseluruhan kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya. Sampel penelitian dipilih secara acak (random sampling) berdasarkan dengan asumsi kelasnya adalah homogen, yaitu dengan melakukan undian terhadap semua kelas populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas X4 dengan jumlah 39 siswa.

3.4.   Prosedur Penelitian
3.4.1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.        Penyusunan draf proposal.
2.        Menentukan tempat penelitian.
3.        Seminar proposal penelitian.
4.        Permohonan izin penelitian pada instansi terkait.
5.        Membuat instrumen penelitian.
6.        Menentukan kelompok sampel.
7.        Melaksanakan uji coba instrumen Tes Hasil Belajar (THB).
8.        Menganalisis data hasil uji coba instrumen (THB).
3.4.2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan penelitian ini menggunakan rancangan panel (design) one shot case study, yaitu sebuah eksperimen yang dilaksanakan tanpa adanya kelompok pembanding dan juga tanpa tes awal (Suharsimi Arikunto, 2003: 279). Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1.             Peneliti melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis. Pada tahap ini dilaksanakan pula pengamatan terhadap aktivitas guru dan siswa.
2.             Peneliti memberikan tes hasil belajar pada akhir seluruh pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa terhadap materi yang diberikan.
3.             Peneliti memberikan tes kemampuan berpikir kritis pada setiap akhir  pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa pada materi fluida statis.
3.4.3. Tahap Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada saat penelitian ini yaitu :
1.             Data aktivitas guru dan siswa diperoleh melalui lembar pengamatan aktivitas guru dan siswa yang diisi oleh pengamat ketika pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) sedang berlangsung.
2.             Data hasil belajar siswa diperoleh melalui pemberian tes hasil belajar pada akhir seluruh pembelajaran dengan mengimplementasikan model Problem Based Learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.             Data kemampuan berpikir kritis siswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir kritis siswa yang diberikan pada akhir tiap pembelajaran dengan mengimplementasikan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.4.4. Tahap Analisis Data
Analisis data yang dilakukan setelah data terkumpul adalah sebagai berikut:
1.             Menganalisis data aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran dengan penerapan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis.
2.             Menganalisis ketuntasan hasil belajar kognitif siswa setelah pembelajaran dengan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.             Menganalisis kemampuan berpikir kritis siswa setelah diberikan pembelajaran dengan model problem based learning (PBL) pada materi fluida statis.
3.4.5  Tahap Kesimpulan
Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan secara “deskriptif” dari hasil analisis data agar terlihat gambaranhasil penelitian dan untuk mendeskripsikan penerapan  model pembelajaran problem based learning (PBL) pada materi fluida statis pada siswa kelas X Semester 1 SMA Negeri “X” Palangka Raya tahun ajaran 2014/2015.

3.5.   Intrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini  adalah:
1.         Instrumen 1: yaitu pemahaman konsep yang terdiri atas dua: pretest dan postest. Instrumen ini berupa tes soal esai dengan bentuk label konsep (LK). Untuk mengukur pemahaman konsep siswa sebelum mendapat perlakuan pendekatan pembelajaran konseptual interaktif berseting investigasi kelompok dilakukan pretest, sedangkan untuk mengukur pemahaman konsep siswa setelah mendapatkan perlakuan diberikan postest. Tes pemahaman konsep ini terdiri dari 4 soal untuk masing-masing LK, dengan rincian soal pemahaman konsep aspek kemampuan menginterpretasikan sebanyak 1 soal, kemampuan mencontohkan sebanyak 1 soal, kemampuan membandingkan sebanyak 1 soal, dan kemampuan menjelaskan sebanyak 1 soal. Soal tes pemahaman konsep ini ditelaah berdasarkan 19 kriteria penilaian.
2.         Instrumen 2: yaitu kemampuan pemecahan masalah yang terdiri atas dua: pretest dan postest. Instrumen ini berupa tes soal uraian dengan bentuk label masalah (LM).

3.6     Uji Coba Instrumen
Pengujian instrumen THB berupa tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda. Uji coba instrumen direncanakan di kelas X SMA Negeri “X” Palangka Raya yang telah menerima materi GLB dan GLBB. Uji coba penelitian ini meliputi validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda instrumen.

3.7     Teknik Analisis Ujicoba Instrumen
Ujicoba pada THB dilakukan untuk mengukur validasi, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda.
3.7.1. Uji Validitas
Validitas dapat diartikan dengan kebenaran, keshahihan atau keabsahan yang berkenaan dengan ketetapan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Untuk mengetahui validitas instrumen  digunakan rumus korelasi point biserial sebagai berikut:

.............................................................................  (3.1)
(Suharsimi Arikunto, 2007: 79)
Keterangan :               
     =  Koefisien korelasi point biserial
      =  Rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi item yang  dicari   
               validitasnya
      =  Rerata skor total
St            =  Standar deviasi skor total
p          =  Proporsi siswa yang menjawab benar
                           
q          =  Proporsi siswa yang menjawab salah ( q = 1 – p )
Kriteria validitas instrumen adalah sebagai berikut (Suharsimi Arikunto, 2007 : 75):
Tabel
Kriteria Validitas Instrumen

Koefisien Validitas
Kriteria
Antara 0,800 sampai dengan 1,00
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Antara 0,400 sampai dengan 0,600
Antara 0,200 sampai dengan 0,400
Antara 0,00 sampai dengan 0,200
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 75
3.7.2  Uji Reliabilitas
Reliabilitas tes berhubungan dengan masalah kepercayaan, suatu tes mempunyai taraf  kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap (Suharsimi Arikunto, 2007: 86). Reliabilitas menunjukkan ketetapan atau keajegan alat penilaian dalam menilai apa yang akan dinilai dan  kapan pun  alat penilaian tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukkan ketetapan. Untuk menguji reliabilitas instrumen menggunakan rumus Kuder-Richardson 21 yaitu sebagai berikut :


 
....................................................................  (3.2)
(Suharsimi Arikunto, 2007: 103)
Keterangan :
       = Reliabilitas tes secara keseluruhan
n          = Banyaknya butir soal
M         = Rata-rata skor seluruh butir soal
       = Varians total
   Untuk meninterpretasikan harga r11 yang menyatakan nilai reliabelnya sebuah instrument didasarkan menurut kriteria pada table berikut:
Tabel
Kriteria Koefisien Reliabilitas

Koefisien Rehabilitas
Kriteria
Antara 0,800 sampai dengan 1,00
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Antara 0,400 sampai dengan 0,600
Antara 0,200 sampai dengan 0,400
Antara 0,00 sampai dengan 0,200
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 75
3.7.3. Uji Taraf Kesukaran
Indeks kesukaran (difficulty index) adalah bilangan menunjukkan sukar dan mudahnya sesuatu soal (Suharsimi Arikunto, 2007: 207). Besar indeks kesukaran antara 0,00 sampai dengan 1,00. Soal dengan indeks kesukaran 0,00 menunjukkan bahwa soal itu terlalu sukar, sebaliknya indeks 1,00 menunjukkan bahwa soalnya terlalu mudah.. Untuk menghitung besarnya taraf kesukaran suatu tes digunakan rumus sebagai berikut :
P = .................................................................................................  (3.3)
(Suharsimi Arikunto, 2007: 208)            
Keterangan :  
P   =   Taraf Kesukaran
B   =   Banyaknya yang menjawab betul
J    =   Jumlah siswa secara keseluruhan
Klasifikasi indeks kesukaran:
Tabel
Kriteria Indeks Kesukaran

Indeks Kesukaran
Kriteria
Antara 0,00 sampai dengan 0.30
Antara 0,30 sampai dengan 0,70
Antara 0,70 sampai dengan 1,00
Soal Sukar
Soal Sedang
Soal Mudah
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 210
Indeks kesukaran yang semakin tinggi menunjukkan bahwa soal semakin mudah dan semakin tinggi bilangan indeknya.
3.7.4  Uji Daya Pembeda Butir Soal
Daya pembeda soal adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Suharsimi Arikunto, 2007: 211). Rumus untuk mengetahui daya pembeda setiap butir tes adalah :
D = ....................................................................................  (3.4)
(Suharsimi Arikunto, 2007 : 213)                              
Keterangan : 
D    =  daya pembeda butir
 =  banyaknya kelompok atas yang menjawab betul
  =  banyaknya subjek kelompok atas
 =   banyaknya subjek kelompok bawah yang menjawab soal dengan betul
  =  banyaknya subjek kelompok bawah
Klasifikasi daya pembeda adalah sebagai berikut:
Tabel 3.6
Klasifikasi  Daya Pembeda

Klasifikasi
Kriteria
0,00 – 0,20
0,20 – 0,40
0,40 – 0,70
0,70 – 1,00
Negatif
Jelek (Poor)
Cukup (Satisfactory)
Baik (Good)
Baik sekali (excellent)
semuanya tidak baik, jadi semua butir soal mempunyai nilai negatif sebaiknya tidak digunakan.
Sumber : Suharsimi Arikunto, 2007 : 218
3.8     Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif kuantitatif dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian dalam rangka perumusan kesimpulan.
3.8.1  Teknik Analisis Aktivitas Guru dan Siswa
Untuk menganalisis data aktivitas guru dan aktivitas siswa yang diamati dalam kegiatan belajar-mengajar digunakan analisis statistic deskriptif persentase (%) yaitu banyaknya frekuensi tiap aktivitas dibagi seluruh frekuensi aktivitas kali 100%.
3.8.2 Teknik Analisis Data Tes Hasil Belajar(THB)
Analisis data Tes Hasil Belajar (THB) digunakan untuk mengetahui seberapa besar ketuntasan hasil belajar siswa dalam aspek kognitif setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan Model Problem Based Learning (PBL) materi GLB dan GLBB. THB ini dianalisis dengan menggunakan ketuntasan individual, ketuntasan klasikal dan ketuntasan TPK.
(1)          Ketuntasan individu
Individu dikatakan  tuntas bila persentase (P) indikator yang dicapai sebesar ≥ 69%, yaitu ketuntasan yang ditetapkan sekolah SMA Negeri “X” Palangka Raya. Jumlah butir soal sebanyak n, rumus presentase (P) adalah sebagai berikut:
.......................................  (3.5)
(Widiyoko, 2002:55)                                                        
Keterangan:    P          = Persentase
                        n          = Jumlah soal
(2)          Ketuntasan Klasikal
Secara klasikal dikatakan tuntas jika ≥ 85% individu yang tuntas dari jumlah siswa yang berada di kelas tersebut. Rumus presentase (P) adalah sebagai berikut:
.................................................  (3.6)
(Widiyoko, 2002:55)                                                     
Keterangan :       P = Persentase
                     N = Jumlah siswa

(3)          Ketuntasan TPK
Satu TPK tuntas apabila persentase (P) siswa yang mencapai TPK tersebut > 65 %. Untuk jumlah siswa sebanyak N orang, rumus persentasenya (P) adalah sebagai berikut :
P =  x 100 %  ..................... (3.7)
(Widiyoko, 2002:55)
Keterangan:         P      = Persentase ketuntasan TPK
                            N     = Jumlah siswa
3.8.3  Teknik Analisis Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Analisis kemampuan berpikir kritis siswa setelah diimplementasikan pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning (PBL) materi fluida statis yaitu dengan memberi penilaian pada setiap keterampilan berpikir kritis yang dilakukan siswa. Kategori yang digunakan untuk menilai kemampuan berpikir kritis dari siswa ditentukan dengan menggunakan skala penilaian pada tiap kemampuan berpikir kritis siswa.

(Adaptasi Kurnia Dewi, 2010)

Kemampuan berpikir kritis siswa akan dibagi menjadi empat kriteria, yaitu sangat baik, baik, kurang baik dan buruk (adaptasi Kurnia Dewi, 2010) yang didapat dari:
Kriteria berpikir kritis yang didapat seperti pada table berikut:
Tabel 2.3
Kriteria Berpikir Kritis

No.
Skor
Ktiteria Berpikir Kritis
1
63 – 81
Sangat Baik
2
43 – 62
Baik
3
24 – 42
Kurang Baik
4
5 – 23
Buruk




DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Supriyono, Widodo. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta

Amir, M. Taufiq. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Arends, Richard. 2008. Learning To Teach (Balajar Untuk Mengajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baharuddin dan Wahyuni, Nur. 2009.  Teori Belajar dan Pembelajaran.Sleman : Ar-Ruszz Media.

Fauzi, Ahmad . 1999. Psikologi Umum. Bandung : CV. Pustaka Setia

Fisher, Alec. 2009. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta : Erlangga

Handayani,Sri dan Damari, Ari. 2009. Fisika Untuk SMA dan MA Kelas IX. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).

Haryadi, Bambang. 2009. Fisika Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).

Johnson, Elaine B. 2009. Contextual Teaching And Learning. Bandung : Mizan Media Utama

Kanginan, Marthen. 2006. Seribu Pena Fisika Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.

Nurachmandani, Setya. 2009. Fisika 2 Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).

Satori, Djam’an & Komariah, Aan. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Suharsimi Arikunto, 2003. Managemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

SuharsimiArikunto. 2007.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Supiyanto. 2007. Fisika Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Phibeta.

Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suyatman, Sunarroso, Sarwono. 2009. Fisika 2 Mudah dan Sederhana Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional (BSE).

Syah, Muhibbin.2009. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja  Rosdakarya.

Syafarudin dan Nasution, Irawan. 2005. Managemen Pembelajaran. Ciputat : PT Ciputat Press.

Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher.

_______. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, Dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

________. 2010. Mendesain Model Pembelajaran inovatif dan progresif. Jakarta : Kencana.

________. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.

Tipler, Paul A. 1998. Fisika Jilid I untuk Sains dan Teknik ( Terjemahan Lea Prasetio dan Rahmad W. Adi).  Jakarta: Erlangga.

Widiyoko, M. Taufik. 2002. Pengembangan Model Pembelajaran Langsung Yang Menekankan Pada Keterampilan Proses Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Bidang Biologi Pokok Bahasan Sistem Pengeluaran di SLTP. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: UNESA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal Pilihan Ganda Listrik Dinamis dalam Kehidupan Sehari-hari K-13

STATISTIKA DASAR

Soal Pilihan Ganda Usaha dan Pesawat Sederhana dalam Kehidupan Sehari-hari K-13